Pria beruban dan berwajah keriput itu setia menunggu penumpang di depan Toko Ramai, Malioboro. Entah sampai kapan dia menunggu. Tidak peduli panas menyengat kulit atau hujan deras mengguyur.
Gito Suryo Pranoto atau yang biasa disapa Pak Gito sudah menghabiskan 44 tahun hidupnya sebagai seorang kusir andong untuk menghidupi keluarganya. Dari jam sembilan pagi hingga jam empat sore, pria beranak dua itu menanti calon penumpang yang semakin sedikit jumlahnya dari tahun ke tahun. Menurutnya hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di kota Yogyakarta ini, tidak seperti dahulu waktu kendaraan bermotor masih ibarat barang mewah, andong Pak Gito masih banyak diminati masyarakat. Oleh karena itu Pak Gito sekarang hanya mangkal di kawasan Malioboro. Padahal dahulu pria yang setia memakai blangkon ini juga sempat mangkal di terminal Umbulharjo ataupun stasiun Lempuyangan. "Sekarang jaman sudah maju, banyak kendaraan bermotor di mana-mana, jadi saya lebih milih di sini terus saja", ujarnya sambil menghisap rokok,
Menurutnya banyak sekali tantangan menjadi kusir andong. Pagi-pagi sekali pria berdomisili di Kota Bantul ini harus bangun untuk menyiapkan segala sesuatunya. Mulai dari memberi makan sampai memandikan kuda. Perjalanan dari rumah Pak Gito sampai Malioboro membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sesampai di sana pria berumur 65 tahun kebanyakan hanya menghabiskan waktu untuk duduk di andongnya sambil menghisap rokok. Jarang sekali masyarakat yang mau naik andongnya. Rata-rata pria murah senyum ini hanya mendapat dua penumpang dalam sehari. Akibatnya penghasilan Pak Gito sehari rata-rata hanya Rp. 40.000 rupiah. Namun untuk hari libur bisa mencapai Rp. 100.000 rupiah per hari. "Yaa..kalau hari biasa seperti ini saya cuma dapat 40 ribu sehari, tapi kalau hari libur seperti lebaran bisa sampai 100 ribu", kata bapak berkumis tipis ini sambil tertawa kecil.
Kesulitan menjadi kusir andong tidak sampai di situ. Sangat sulit dan mahal untuk merawat kuda. Dalam sehari Pak Gito harus merogoh kocek sebesar Rp. 20 ribu rupiah untuk membeli katul dan vitamin untuk kudanya. Hal ini harus dilakukannya sebab jika kudanya sampai sakit, suami seorang buruh cuci itu tidak bisa bekerja lagi karena hanya mempunyai seekor kuda. Terlebih lagi jika ada komponen andongnya yang rusak, Pak Gito juga harus mereparasikan andongnya di daerah Ngoto, Bantul. Tentunya juga butuh biaya yang tidak sedikit.
Di tengah kesulitan seperti tersebut di atas, Pak Gito masih beruntung. Pasalnya pria berbadan kurus itu mendapat uang Rp 2 juta setiap tahunnya dari sebuah perusahaan minimarket yang memasang iklan di andongnya. Selain itu Pak Gito kadang mendapat komisi dari sebuah toko bakpia terkemuka di kota ini jika mampu mengantar penumpang ke toko bakpia tersebut. Namun walaupun sudah mendapat itu semua, kakek dari tiga orang cucu ini masih mengharapkan perhatian dari pemerintah kota Yogyakarta yang dianggapnya kurang memperhatikan nasib kusir-kusir andong seperti Pak Gito yang telah melesarikan budaya tradisional Yogyakarta ini.
(Kartiko Wulantomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar