Minggu, 08 November 2009

OPINI : Wacana Mengatasi Permasalahan di Malioboro


Kota Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pendidikan, budaya dan pariwisata memiliki berbagai macam lokasi untuk dikunjungi sebagai obyek wisata. Salah satu kebanggaan yang dimiliki kota Yogyakarta adalah Malioboro. Malioboro selain disebut sebagai jantung kota Yogyakarta juga sebagai pusat keramaian yang meliputi berbagai kegiatan, baik pemerintahan, perdagangan, pariwisata, dsb.


Sebagai pusat keramaian, tentu saja malioboro mengandung sisi-sisi yang positif maupun negatif. Sisi positif malioboro antara lain sebagai pusat pemerintahan karena di Malioboro terdapat kantor gubernur DIY dan kantor DPRD propinsi DIY sebagai tempat untuk mengolah kebijakan pemerintahan di propinsi DIY. Di samping itu dari aspek perekonomian Malioboro dapat memberikan manfaat bagi pengusaha di sepanjang Jalan Malioboro dan juga tempat rekreasi bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.


Namun di balik itu, Malioboro sebenarnya mengandung banyak permasalahan. Pertama, kepadatan lalu lintas. Masyarakat yang berkunjung ke Malioboro sangatlah tidak nyaman dengan padatnya kendaraan yang meiewati jalan Malioboro baik siang maupun malam. Masih ada kendaraan yang berhenti di pinggir jalan walaupun dilarang polisi. Kepadatan kendaraan tersebut juga mengakibatkan polusi udara yang cukup signifikan.


Kedua, tingkat kebersihan sangat rendah. Setiap harinya Malioboro menghasilkan tumpukan sampah yang melimpah dan juga limbah yang dihasilkan oleh pedagang yang dibuang di sepanjang tempat. Lesehan Malioboro tidak mempunyai pembuangan air yang cukup memadai, hanya got dengan kapasitas cukup kecil saja yang dapat diandalkan. Oleh karena itu tidak jarang kita mencium aroma tidak sedap jika kita melintas di jalan tersebut.


Ketiga, pedagang yang tidak tertib. Misalnya pihak pemerintah merasa telah dirugikan dengan adanya pedagang lesehan dengan alasan mereka telah menutupi bangunan DPRD Prop DIY yang dijadikan sebagai simbol Pemerintahan tertinggi di tingkat legislatif. Gedung kokoh sebagai sibol keperkasaan pun seakan tidak dapat dikenal lagi oleh pengunjung yang melintas. Mereka hanya akan melihat warna-warni tenda yang menghiasi trotoar di depa DPRD.


Keempat, masalah parkir. Lahan parkir di Malioboro sangat terbatas, tidak seimbang dengan jumlah pengunjung. Hal ini menyebabkan trotoar yang semestinya digunakan untuk pejalan kaki digunakan sebagai tempat parkir. Masalah lahan parkir ini diperparah dengan masalah retribusi parkir. Sebagai contoh pengunjung bersepeda motor dikenakan biaya parkir Rp.1000,00 padahal tarif yang tertera di karcis Rp.500,00.


Kelima, gangguan keamanan. Tidak sedikit laporan pengunjung di Malioboro mengenai kehilangan, kecopetan, gendam, penipuan, dsb. Dengan padatnya pengunjung, sangat rawan terjadi gangguan-gangguan semacam itu.


Keenam, kompleksitas kegiatan. Maliboro merupakan lokasi kegiatan yang sangat komples. Segalanya terpusat di malioboro. Antara lain pemerintahan, pendidikan, perdagangan, wisata, hiburan. Akumulasi dari kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan kepadatan karena bertemunya banyak orang dengan berbagai macam kepentingan.


Untuk mengatasi hal-hal tersebut ada beberapa solusi, antara lain :

Pertama, untuk mengurangi kepadatan lalu lintas perlu adanya aturan yang membatasi masuknya kendaraan ke jalan Malioboro. Misalnya kendaraan roda empat tidak boleh masuk ke kawasan Malioboro kecuali angkutan kota. Selain itu juga bisa diterapkan pada hari-hari tertentu Malioboro dibebaskan dari kendaraan bermotor. Hal ini selain mengurangi kepadatan, juga mengurangi polusi udara.


Kedua, untuk mengatasi tingkat kebersihan yang rendah perlu adanya petugas yang jumlahnya memadai serta diperbanyak tempat-tempat pembuangan sampah. Selain itu perlu dibangun saluran limbah yang memadai.


Ketiga, untuk menertibkan pedagang perlu adanya sosialisasi secara rutin tentang ketertiban, kebersihan, dan penentuan harga yang wajar terhadap barang dagangan khususnya warung-warung makan.


Keempat, untuk mengatasi masalah parkir perlu ditambah kantong parkir dan menertibkan petugas parkir. Bagi petugas parkir yang melanggar aturan akan dikenai sanksi yang tegas.


Kelima, untuk mengatasi gangguan keamanan perlu diperbanyak posko keamanan beserta petugasnya. Di samping itu juga perlu adanya tulisan peringatan bagi pengunjung agar lebih waspada, misalnya tulisan “Awas copet!”.


Keenam, untuk mengatasi kompleksitas kegiatan perlu dilakukan relokasi tempat bagi kegiatan tertentu ke luar Jalan Malioboro. Misalnya gedung Perpustakaan Daerah, bioskop, sebagian dari kantor Pemerintah Daerah DIY dan pedagang kaki lima.


Dengan solusi tersebut diharapkan Malioboro akan lebih nyaman dan aman bagi para pengunjung yang membutuhkan kenikmatan berkunjung di Malioboro. Mungkin hal ini akan cukup berat untuk dilaksanakan, namun apabila keadaan Malioboro dibiarkan seperti sekarang akibatnya Malioboro sebagai ikon kota Yogyakarta akan menimbukan masalah yang lebih kompleks lagi.


Kartiko Wulantomo (153070313)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar