Selasa, 24 November 2009

in depth reporting

  1. Tema : Wisata dan Budaya Jogja

2. Latar Belakang :

Beberapa waktu yang lalu muncul berbagai argumentasi terkait dengan tata kota dan tata kelola kota yogya dengan mengedepankan kekhasan tanpa meninggalkan fungsinya sebagai penyokong perekonomian Ibukota propinsi.

Ada wacana dari beberapa kalangan untuk menata kembali dan menjadikan kawasan Pasar Kembang (Sarkem) sebagai bagian dari paket wisata yogyakarta yakni sebagai bagian dari paket “wisata sex” untuk mendukung pencanangan kembali kota yogya sebagai daerah tujuan wisata.

Pasar kembang yang sejak dulu memang identik dengan komplek “wisata lendir” mau tidak mau memang sudah menjadi bagian dari perjalanan panjang kota yogyakarta hingga menjadi seperti sekarang ini. Keberadaannya tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pola masyarakat jawa jaman dulu dimana berbagai hal yang bersinggungan dengan hasrat dan imani tidak dapat dipisahkan begitu saja. Cara pandanglah yang membuat segala sesuatu yang pada awalnya merupakan bagian dari heterogenitas menjadi sesuatu yang terpolar. Ya, yakni antara kekhasan budaya dan kultur dengan hakekat kemanusiaan raga yang tidak juga dapat dihapus dengan begitu saja meski mengatasnamakan moral dan religiusitas.

Lokalisasi yang keberadaannya tepat didaerah pusat kota dan lingkup pemerintahan hendaknya disikapi dengan rasio yang bukan hanya menilik dari keberadaannya sekarang, melainkan menarik mundur mengapa sejak awal komplek itu berada tepat didaerah pusat keramaian dan pusat pemerintahan!? Bukankah tidak mustahil kompleks semacam itu digusur keberadaannya dengan dalih mengganggu kepentingan umum dan tidak sesuai dengan norma yang ada. Mengapa kota yogya yang sarat dengan nuansa religius, kultural dan budaya “malah” memangku kompleks itu diantara deretan komplek strategis dan memiliki kedudukan yang penting dalam tata kelola pemerintahan!?

Entah siapa yang memiliki wewenang untuk menjawab secara tepat pertanyaan ini meski sampai detik ini masih banyak sekali perdebatan yang mempertanyakan dan mempermasalahkan keberadaan sarkem didaerah yang begitu strategis baik dalam peta pemerintahan maupun ekonomi. (Tulisan By. Dedi Wuluh).

Kami ingin mengembangkan isi dari tulisan di atas menjadi sebuah laporan mendalam agar bisa menjawab pertanyaan yang masih belum terselesaikan yaitu Mengapa kota Yogya yang sarat dengan nuansa religiutsitas, kultural, dan budaya “malah” memangku kompleks itu di antara deretan komplek strategis dan memiliki kedudukan penting dalam tata kelola pemerintahan?! Siapa yang berwenang menangani masalah ini?? Bagaimana pandangan dari pihak-pihak yang pro maupun kontra tentang keberadaan wisata lendir di Jogja?? Semua akan dikupas dengan tuntas, tajam, dan mendalam dalam In depth reporting : Wisata Lendir di Kota Budaya Jogja

  1. Objek Observasi : Lokalisasi Sarkem di Jalan Pasar Kembang Yogyakarta
  2. Narasumber :

- Kepala Dinas Pariwisata Jogjakarta (sedang diusahakan, kalo tidak dapat ya…stafnya saja)

- Pemda kota Jogja terkait dengan tata kota

- WTS yang bekerja di lokalisasi tersebut

- Pengunjung dan penikmat wisata lendir sarkem

- Ulama

- Sosiolog

- Budayawan : Butet Kertarejasa (sedang diusahakan)

  1. Interview Guide :
  2. Pembagian Kerja :

Bertha Mintari : interviewer, mencari referensi dari berbagai buku, editor

Aga Mandala : interviewer, menyusun berita

Rara Dinar : interviewer, menyusun berita

Desti Triwahyuni : interviewer, menyusun berita

Kartiko Wulantomo : interviewer, fotografer

Minggu, 08 November 2009

opini :Bangkit Berjuang Hidupkan Seni dan Budaya Jogjakarta





Yeah, setiap tanggal 10 Nopember bangsa kita memperingati Hari Pahlawan. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan harta dan nyawanya demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta. 64 tahun silam para pahlawan kita telah bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya.

Pada saat itu para pejuang kita hanya menggunakan senjata bambu runcing, namun mereka tidak pernah gentar melawan penjajah. Tentu kita masih ingat tokoh yang paling berperan penting dalam perjuangan saat itu. Bung Tomo, dia adalah salah seorang pemimpin perjuangan rakyat Surabaya, dengan suara yang menggelegar laksana halilintar mampu membakar semangat para pejuang untuk membasmi penjajah yang mencoba merampas Surabaya.

Tiap tahun kita memperingati Hari Pahlawan tetapi apa yang kita rasakan? Apakah kita betul-betul menghayati makna Hari Pahlawan itu sendiri. Aku pribadi merasa bahwa kurang ada greget dalam setiap peringatannya, bahkan dari tahun ke tahun peringatan hari Pahlawan sekedar seremonial belaka. Padahal bangsa kita tercinta sekarang sedang membutuhkan banyak pahlawan dalam berbagai bidang kehidupan. Pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks menghayati makna hari Pahlawan sebenarnya tugas kita saat ini adalah melanjutkan perjuangan para Pahlawan. Tentu saja, perjuangan yang kita lakukan harus relevan dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi saat ini. Kita bisa lakukan dari hal kecil paling tidak menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri, keluarga,dan orang-orang di sekitar kita.

Lihatlah lingkungan di sekitar kita, masih banyak orang yang belum mengapresiasi acara seni dan budaya. Greget berkesenian tampaknya mulai luntur dihantam kemajuan jaman yang serba modern. Contohnya adalah di Malioboro. Sekarang, pernahkah Anda dengar ada lagu yang bercerita tentang Malioboro yang dinyanyikan oleh penyayi-penyanyi kita. Sudah jarang bukan. Padahal dulu ada Anggun C Sasmi, Katon Bagaskara, dan masih banyak lagi yang menyayikan lagu bertema jogja dan malioboro.Sungguh ironi memang, di tengah semangat pemerintah daerah yang menggebu-gebu untuk memajukan malioboro sebagai sektor wisata seni di jogja, senimannya malah mlempem dalam artian hanya sedikit yang bermunculan. Dengan digelarnya serangkaian acara seni dan budaya di Malioboro diantaranya Jogja Java Carnival, Festival Malioboro 2009, dan Panggung Merah Putih diharapkan greget seniman malioboro dapat dihidupkan dan apresiasi warga jogja dapat ditumbuhkan khususnya dalam bidang berkesenian.

Memang tidak mudah kan menjadi pahlawan, harus berjuang keras dari nol untuk mencapai hal yang diinginkan Lebih mudah jika kita menjadi “pahlawan kesiangan” yang ketika masa sulit tidak mau ikut berjuang, tetapi ketika masa sulit sudah berakhir mereka menyatakan diri sebagai pejuang. Oleh karena itu, mari kita hayati makna Hari Pahlawan 10 November dengan turut berpartisipasi memajukan seni dan budaya kota Jogja! (bertha/153070301)

Feature : Sapto Raharjo a.k.a Athonk: Seniman Tato Dari Sosrowijayan Malioboro




Bunyi mesin tato berdesing dari dalam studio tato Eternity Jogja. Tampak sang pasien mengernyitkan dahi menahan sakit sedangkan sang tato artis dengan penuh konsentrasi dan kesabaran menggambar di atas kulit orang bak kanvas lukisan. Tidak lama kemudian, jadilah sebuah lukisan tubuh nan menawan. Sang pasien menyungging senyum dan pulang dengan penuh kepuasan. Di ruang tunggu masih ada pasien lain yang menunggu untuk “disakiti”.


Begitulah keseharian Sapto Raharjo atau yang akrab dipanggil dengan nama Athonk. Berawal dari sebuah studio mini di kawasan sosrowijayan malioboro, kini Athonk bersama satu rekannya telah membuka studio tato besar di kawasan gejayan Jogjakarta. Ditemui di sela-sela aktivitasnya yang padat, FLOPPYNEWS bertandang ke rumah si seniman tato ini di untuk mewawancarainya. Berikut cuplikan wawancara FLOOPYNEWS dengan Athonk.

Apakah anda idealis?

Tidak…dalam berkarya saya bukan termasuk idealis. Saya bahkan merasa belum pantas disebut seniman. Saya terbuka dengan berbagai pandangan tentang seni, saya rasa itulah yang membuat usaha tato saya tidak terhenti ketika toko tato yang lain pada bagkrut. Karena saya berusaha menyesuaikan dengan taste pelanggan, tidak dengan idealisme saya pribadi.

Goresan tato Anda begitu tegas, sepertinya mencerminkan karakter Anda?

Haha….tepat sekali! Saya memang tegas dalam segala hal, banyak orang bilang kalo goresan tato saya tegas. Setelah saya lihat-lihat…..hmmm betul juga ya. Ketika ada orang yang dating pada saya untuk ditato, saya ingin memberikan kepuasan yang maksimal salah satunya dengan outline gambar yang tegas dan jelas.

Kepuasan berbanding lurus dengan pundit-pundi uang tentunya?

Absolutely….itu salah satu yang melatarbelakangi saya membuka usaha tato. Saya ingin mendapat uang cash tiap harinya.

Di tengah persaingan usaha tato yang sangat ketat, saya appreciate dengan Anda karena bisa bertahan 9 tahun lamanya, bagaimana caranya?

Modal utama adalah komunikasi. Kamu anak komunikasi pasti pernah dapat mata kuliah tentang public relation. Nah, saya sedang mencoba untuk menjalankan tugas PR baik secara eksternal maupun internal.

Yang internal?

Pada dasaranya, sederhana saja. Saya sebagai owner Eternity Tattoo Parlor Jogja sebisa mungkin menjalin hubungan baik dengan pihak management. Supaya jika ada kendala-kendala dapat dibicarakan bersama dan dicari solusinya. Intinya, supaya tidak terjadi miss understanding.

Yang eksternal?

Tentunya menjaga hubungan baik dengan pelanggan, saya berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan. Mereka mempunyai hak untuk komplain bila kurang puas dan kami melayaninya.

Tapi kesuksesan Eternity tampaknya tidak lepas dari lingkungan Anda di Sosrowijayan Malioboro?

Ya….bisa dibilang demikian. Saya tumbuh dan berkembang di sana. Dari kecil, dewasa hingga membuka studio tato disana, saya sering bergaul dengan para bule. Pergaulan dengan bule itulah, membuat saya fasih berbahasa inggris. Walaupun banyak orang bilang inggris “sosro” bukan sastra inggris haha. Dengan banyak bergaul dengan para bule yang berasal dari berbagai kalangan secara tidak langsung menambah koneksi bisnis saya sehingga usaha tato saya makin berkembang. Akhirnya saya memutuskan untuk mendirikan studio Tato yang lebih besar di gejayan.

Menurut Anda pertumbuhan seniman di malioboro saat sekarang bagaimana?

Memprihatinkan melihat pertumbuhan seniman di malioboro yang dari tahun ke tahun semakin merosot. Tampaknya nuasannya malioboro telah berubah. Lihat saja sekarang yang ada hanya pedagang-pedagang dan kotoran kuda tentunya. (Sambil tersenyum). Seniman-seniman besar yang dulu tumbuh dan besar di Malioboro tampaknya tidak mengalami regenerasi.

Harapan anda?

Saya sebagai salah satu orang yang mencintai seni dan tumbuh di lingkungan malioboro mengharapkan agar greget berkesenian dapat ditingkatkan dan dikembangkan. Majukan budaya dan seni kota Jogja! (BERTHA/153070301)


Kemandirian Seorang Sapto di atas Kursi Roda

Jogja - "Walau keadaan saya seperti ini, saya tidak mau dikasiani sama orang lain, saya ingin hidup mandiri, dan tidak memebebani kedua orangtua saya." Hal itulah yang terucap dari bibir Sapto (42), loper koran di sekitar jalan Kapas. Bersama kursi rodanya, Sapto menelusuri jalan Kapas hingga jalan Kenari. Ia mulai menjajahkan koran. Inilah kegiatan rutin Sapto tiap harinya. Tak peduli dengan kendaraan-kendaraan yang sewaktu-waktu dapat membahayakan nyawanya.

Dalam sehari, Sapto memperoleh penghasilan kurang lebih Rp 10.000 dari hasil jualan korannya. "Uangnya biasa saya pakai untuk beli rokok mbak, untuk mengalihkan rasa sakit kaki saya. Tiap malam kaki saya nyeri terus, gak tahan saya mbak," ujar Sapto.

Sejak umur 14 tahun Sapto sudah mulai menggunakan kursi roda. Kakinya mengecil akibat tertimpa bahan bangunan. Karena kondisi ekonomi keluarga Sapto yang tidak memungkinkan untuk membawa Sapto berobat ke Rumah Sakit, akhirnya Sapto hanya dibawa ke tukang pijat. "Awalnya tidak apa-apa
mbak, tapi lama-lama kaki saya jadi lemah dan akhirnya mengecil. Semenjak itu saya tidak dapat berdiri lagi."

Namun kekurangan dalam dirinya tak membuat pria asli Jogja ini pantang menyerah. Dia rela mengerjakan apapun demi membahagiakan orangtuanya karena hanya orangtuanya yang ia miliki saat ini.
"Sudah cukup saya merepotkan orangtua saya, terutama ibu saya. Beliau yang selalu menyiapkan keperluan-keperluan saya, beliau juga yang mencuci baju saya. Saya gak bisa bayangin kalau suatu saat nanti ibu saya dipanggil sama yang di Atas terlebih dahulu. Apa jadinya saya nanti? Makanya saya punya tekad bahwa saya harus bisa hidup mandiri," ucap Sapto mengakhiri perbincangan dengan mata berkaca-kaca menahan haru. (Desti)

straightnews :Pagelaran Seni Warnai "Panggung Merah Putih"






Minggu Malam (8/11
) Ratusan penonton memadati area di sekitar monumen SO 1 maret untuk menyaksikan acara “Panggung Merah Putih”. Acara ini dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama adalah Malioboro Aksi Indie yang menampilkan 10 band hasil seleksi.

Setelah itu disusul sambutan dari wakil kepala dinas pariwisata DIY, Supriyanto. Dalam sambutannya, Supriyanto mengatakan bahwa wajah malioboro sudah berbeda, malioboro kini hanya sekedar sentra ekonomi saja bukan lagi sentra budaya seperti dulu kala.
"Diharapkan dengan digelarnya acara ini secara rutin minimal satu kali setahun, budaya Indonesia khususnya di Malioboro bisa tumbuh dan berkembang kembali", ujarnya.

Sesi kedua adalah acara puncak untuk menutup Festival Malioboro 2009. Acara puncak ini merupakan gabungan antara sebuah pagelaran seni dengan fashion show bertema Radical Fashion. Pagelaran seni yang diberi nama”Jangan Takut Menjadi Indonesia” ini disutradarai oleh Pressiden Y.Kubbro. Pagelaran ini merupakan kolaborasi musik masa kini dengan musik tradisional yang melibatkan berbagai kelompok seni di Yogyakarta,diantaranya adalah Pressiden Band, Ari Wulu, PSM UII, Sampak Patrol, Kelompok Perkusi Jogja, TIUP Marching UII, Grasak, Jathilan, Radical Fashion Show, Langit Percussion, Prajurit Tambak Yudho,dan Al Mizan. (BERTA/ 301)

Features

Yogyakarta (7/11)
– Pak Suwito (42) begitu dia akrab dipanggil, bapak tiga anak ini menggantungkan hidupnya berjualan martabak di sekitar jalan Seturan. Bapak berkumis asal Klaten ini sudah berjualan martabak selama 3 tahun.

“Ya gini-gini aja mas, kalau sedang ramai ya untung banyak kalau sepi ya rugi” begitu tandasnya ketika ditanya keuntungan tiap harinya. Tanpa letih dia membolak-balikan martabaknya, minyak yang panas seakan tidak terasa di tanganya yang hitam dan tebal. Rupanya selain berdagang martabak beliau juga membuka usaha menjahit dikala siang. “Ya, saya buka usaha jahitan untuk tambah-tambah biaya sekolah anak mas, kalau berdagang untungnya kan juga gak pasti” tandasnya.

Selain itu dulu Bapak ini juga pernah membuka bengkel las sepeda, yang hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya dia memutuskan untuk pindah ke kota Jogja ini, dan menggantungkan hidupnya disini. “kalau saya bias milih saya ingin jadi polisi” begitu katanya sambil tertawa. Polisi memang cita-citanya sejak awal, tetapi karena fisiknya kurang sehat dia selalu gagal dalam tes. Mugkin inilah contoh dari segelintir orang di Jogja yang mencoba bertahan hidup ditengah himpitan zaman.

Aga Mandala Nosya (153070355)

OPINI : Wacana Mengatasi Permasalahan di Malioboro


Kota Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pendidikan, budaya dan pariwisata memiliki berbagai macam lokasi untuk dikunjungi sebagai obyek wisata. Salah satu kebanggaan yang dimiliki kota Yogyakarta adalah Malioboro. Malioboro selain disebut sebagai jantung kota Yogyakarta juga sebagai pusat keramaian yang meliputi berbagai kegiatan, baik pemerintahan, perdagangan, pariwisata, dsb.


Sebagai pusat keramaian, tentu saja malioboro mengandung sisi-sisi yang positif maupun negatif. Sisi positif malioboro antara lain sebagai pusat pemerintahan karena di Malioboro terdapat kantor gubernur DIY dan kantor DPRD propinsi DIY sebagai tempat untuk mengolah kebijakan pemerintahan di propinsi DIY. Di samping itu dari aspek perekonomian Malioboro dapat memberikan manfaat bagi pengusaha di sepanjang Jalan Malioboro dan juga tempat rekreasi bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.


Namun di balik itu, Malioboro sebenarnya mengandung banyak permasalahan. Pertama, kepadatan lalu lintas. Masyarakat yang berkunjung ke Malioboro sangatlah tidak nyaman dengan padatnya kendaraan yang meiewati jalan Malioboro baik siang maupun malam. Masih ada kendaraan yang berhenti di pinggir jalan walaupun dilarang polisi. Kepadatan kendaraan tersebut juga mengakibatkan polusi udara yang cukup signifikan.


Kedua, tingkat kebersihan sangat rendah. Setiap harinya Malioboro menghasilkan tumpukan sampah yang melimpah dan juga limbah yang dihasilkan oleh pedagang yang dibuang di sepanjang tempat. Lesehan Malioboro tidak mempunyai pembuangan air yang cukup memadai, hanya got dengan kapasitas cukup kecil saja yang dapat diandalkan. Oleh karena itu tidak jarang kita mencium aroma tidak sedap jika kita melintas di jalan tersebut.


Ketiga, pedagang yang tidak tertib. Misalnya pihak pemerintah merasa telah dirugikan dengan adanya pedagang lesehan dengan alasan mereka telah menutupi bangunan DPRD Prop DIY yang dijadikan sebagai simbol Pemerintahan tertinggi di tingkat legislatif. Gedung kokoh sebagai sibol keperkasaan pun seakan tidak dapat dikenal lagi oleh pengunjung yang melintas. Mereka hanya akan melihat warna-warni tenda yang menghiasi trotoar di depa DPRD.


Keempat, masalah parkir. Lahan parkir di Malioboro sangat terbatas, tidak seimbang dengan jumlah pengunjung. Hal ini menyebabkan trotoar yang semestinya digunakan untuk pejalan kaki digunakan sebagai tempat parkir. Masalah lahan parkir ini diperparah dengan masalah retribusi parkir. Sebagai contoh pengunjung bersepeda motor dikenakan biaya parkir Rp.1000,00 padahal tarif yang tertera di karcis Rp.500,00.


Kelima, gangguan keamanan. Tidak sedikit laporan pengunjung di Malioboro mengenai kehilangan, kecopetan, gendam, penipuan, dsb. Dengan padatnya pengunjung, sangat rawan terjadi gangguan-gangguan semacam itu.


Keenam, kompleksitas kegiatan. Maliboro merupakan lokasi kegiatan yang sangat komples. Segalanya terpusat di malioboro. Antara lain pemerintahan, pendidikan, perdagangan, wisata, hiburan. Akumulasi dari kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan kepadatan karena bertemunya banyak orang dengan berbagai macam kepentingan.


Untuk mengatasi hal-hal tersebut ada beberapa solusi, antara lain :

Pertama, untuk mengurangi kepadatan lalu lintas perlu adanya aturan yang membatasi masuknya kendaraan ke jalan Malioboro. Misalnya kendaraan roda empat tidak boleh masuk ke kawasan Malioboro kecuali angkutan kota. Selain itu juga bisa diterapkan pada hari-hari tertentu Malioboro dibebaskan dari kendaraan bermotor. Hal ini selain mengurangi kepadatan, juga mengurangi polusi udara.


Kedua, untuk mengatasi tingkat kebersihan yang rendah perlu adanya petugas yang jumlahnya memadai serta diperbanyak tempat-tempat pembuangan sampah. Selain itu perlu dibangun saluran limbah yang memadai.


Ketiga, untuk menertibkan pedagang perlu adanya sosialisasi secara rutin tentang ketertiban, kebersihan, dan penentuan harga yang wajar terhadap barang dagangan khususnya warung-warung makan.


Keempat, untuk mengatasi masalah parkir perlu ditambah kantong parkir dan menertibkan petugas parkir. Bagi petugas parkir yang melanggar aturan akan dikenai sanksi yang tegas.


Kelima, untuk mengatasi gangguan keamanan perlu diperbanyak posko keamanan beserta petugasnya. Di samping itu juga perlu adanya tulisan peringatan bagi pengunjung agar lebih waspada, misalnya tulisan “Awas copet!”.


Keenam, untuk mengatasi kompleksitas kegiatan perlu dilakukan relokasi tempat bagi kegiatan tertentu ke luar Jalan Malioboro. Misalnya gedung Perpustakaan Daerah, bioskop, sebagian dari kantor Pemerintah Daerah DIY dan pedagang kaki lima.


Dengan solusi tersebut diharapkan Malioboro akan lebih nyaman dan aman bagi para pengunjung yang membutuhkan kenikmatan berkunjung di Malioboro. Mungkin hal ini akan cukup berat untuk dilaksanakan, namun apabila keadaan Malioboro dibiarkan seperti sekarang akibatnya Malioboro sebagai ikon kota Yogyakarta akan menimbukan masalah yang lebih kompleks lagi.


Kartiko Wulantomo (153070313)

Purawisata Gelar Pentas Wayang



Straight News

YOGYAKARTA (7/11) - Pertunjukan wayang yang berjudul Ramayana kemarin malam digelar di Purawisata, Yogyakarta. Pertunjukan yang berdurasi sekitar 3 jam ini banyak dihadiri wisatawan asing dari mancanegara.

Menurut Andi Zarkasi (25) selaku ketua EO pertunjukan ini mengatakan, “memang disetiap pertunjukan wayang selalu dihadiri turis-turis asing dari luar negeri seperti, india, belgia. Inggris, dan masih banyak lagi.” Pertunjukan wayang ini juga merupakan bagian dari tour paket yang sudah dibeli oleh para turis, tambah Kang Andi, begitu dia sering disapa.

Pertunjukan wayang yang bercerita mengenai perebutan perempuan bernama Shinta oleh dua orang lelaki bernama Rama dan Rahwana ini, cukup membuat para penonton terbelalak. Dengan atraksi-atraksi pertengkaran yang menegangkan dan didukung oleh tata lampu dan tata suara yang bagus semakin menambah menarik suasana. Itu juga yang dikatakan Dwi Resti pemeran tokoh Shinta “ Saya selalu gugup dalam setiap pementasan, walaupun sudah sering tampil tetapi rasa gugup itu selalu muncul.” Pertunjukan ini sangat menarik dan saya memerankan dengan baik, begitu tambah perempuan berambut panjang ini. Hal senada dikatakan Dody Permana pengunjung asal Jakarta, “ Pertunjukan ini cukup memuaskan bagi saya dan saya ingin menontonnya lagi kalau kembali kesini.”

Aga Mandala Nosya (153070355)

Pesta Hiburan Rakyat Resmi Dibuka


Yogyakarta (07/11) - Jogja Fair 2009 resmi dibuka oleh Kepala Dinas Perindustrian, Ir.K.Koesdarto ditandai dengan pemukulan bedug dan letupan kembang api. Berbagai tarian tradisional pun turut memeriahkan acara.

Tahun ini merupakan tahun ketiga Dyandra Promosindo Cabang Jogja bekerjasama dengan Kabare Production menye
lenggarakan Jogja Fair yang digelar di Jogja Expo Center (JEC), mulai tanggal 7 hingga 15 November 2009.

Acara
yang bertemakan Pesta Rakyat Esia ini diikuti lebih dari 150 peserta dari berbagai industri multi produk mulai dari otomotif, celluler, fashion, craft, buku, consumer goods, kuliner, gallery, hingga wahana bermain anak dan paint ball.

"Yang menarik dari Jogja Fair tahun ini, panitia memberikan program untuk pengunjung yaitu berupa penukaran tiket masuk seharga Rp 5.000 dengan minyak goreng 2 liter seharga Rp 10.000 selama persediaannya masih ada", ujar Aldilla Listya Lestari selaku Junior Project Manager.

Selain itu, Jogja Fair 2009 juga mendatangkan band-band ternama seperti Seventeen, Shaggy Dog serta band-band indie Jogja. Menurut Aldilla, tujuan utama diadakannya Jogja Fair yaitu sebagai pesta hiburan rakyat, karena selain rakyat dapat membeli produk dengan harga pameran, rakyat juga dapat menyaksikan berbagai acara yang telah disuguhkan panitia.

Jogja Fair dibuka dari hari Senin - Jumat pukul 12.00 - 21.00, hari Sabtu - Minggu pada pukul 10.00 - 21.00 dengan tiket masuk seharga Rp 5.000. (Desti)

HUT Yogyakarta


This year Yogyakarta celebrates 253th birthday. Celebration of "Jogja Java Carnival" was held along the Malioboro street. Saturday, October 17, 2009. Such activities are held annually. in addition to promoting the city of Yogyakarta as a tourism city-educated these activities to preserve the existing imperial tradition, the Kasultanan Ngayogyakarta.

carnival participants consisted of 25 groups, from platoon core, bergada soldiers, the foreign student community, artists from Iran and Korea, as well barongsai arts groups, began to move from Taman Parkir abu Bakar Ali, and ends at the Alun-Alun Utara. In the North Square of the organizing committee has prepared a stage as a place of honor and the end of the carnival.

Participants carnival attractions last show before the Governor of Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X, Yogyakarta Mayor Herry Zudianto, Deputy Mayor of Yogyakarta Haryadi Suyuti, and a number of officers within the City Government of Yogyakarta which comes with wearing "surjan"(Javanese traditional clothes for men) or "kebaya" for women.

RDK (153070134)

Jumat, 06 November 2009

Festival Malioboro Suguhkan Beragam Kesenian


Sebanyak 19 kelompok seniman memeriahkan karnaval pembukaan Festival Malioboro 2009, Jumat (6/11) di sepanjang Jalan Malioboro. Ada parade prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lengkap dengan senjata dan iringan musik tradisional. Ada pula sejumlah kesenian tradisional lokal seperti kuda lumping, jatilan, dan wayang angguk.


Festival ini dibuka oleh Wakil Gubernur DIY Pakualam IX dan akan berakhir Minggu (8/11). Sejumlah acara menarik telah disiapkan antara lain, festival makanan di Benteng Vredeburg, open house Gedung Agung, dan panggung Merah Putih.


Ketua Panitia, Drs. Wahyudi mengatakan tujuan kegiatan ini secara perlahan untuk menghidupkan kembali Malioboro sebagai kawasan pedestrian."Melalui karnaval ini kita coba hidupkan kembali Malioboro sebagai kawasan pejalan kaki yang nyaman. Selain itu, kami juga berharap bisa menjadi ikon pariwisata internasional tak hanya nusantara",ungkapnya.


Sebagai pusat perhatian wisatawan yang datang ke Yogyakarta, Festival Malioboro menyuguhkan cerita menarik dan kekhasan setiap sudutnya. Bahkan, Malioboro juga pernah menjadi tempat pengembaraan seniman, warung lesehan, masyarakat kawasan heritage dan wisata belanja.


Para pengunjung mengaku senang dan terhibur dengan Festival Malioboro. Mereka berharap agenda budaya seperti ini lebih sering ditampilkan di kawasan tersohor di Yogyakarta itu. Acara yang baru pertama kali digelar ini rencananya akan selalu rutin digelar setiap tahun.


Kartiko Wulantomo (153070313)

Kamis, 05 November 2009

A tribute to the jogja jogja city anniversary , “JOGJA JAVA CARNIVAL” takes viewers to seeing all of cultural beauty jogja. Thousands of carnival participants consisted of 25 groups, from pleton inti, prajurit bergada, the foreign student community, artists from Iran and Korea to barongsai arts groups, began to move from Park Parking Abu Bakar Ali, and ends at the Alun Alun Utara.


JOGJA 17/10 (Floopynews)Sebagai Penghormatan kepada Ulang Tahun Kota Jogja, Jogja Java Carnival mengajak penonton untuk menikmati segala keindahan budaya Jogja. Ribuan peserta karnaval yang terdiri dari 25 grup, dari pleton inti, prajurit bergada, komunitas mahasiswa asing, seniman dari Korea dan Iran, sampai komunitas barongsai, bergerak dari Lapangan Parkir Abubakar Ali dan berakhir di Alun Alun Utara.

Sepanjang jalan ribuan warga masyarakat berdesak-desakan di belakang barikade petugas keamanan agar bisa mendapatkan tempat paling strategis untuk menyaksikan beragam pertunjukan kesenian dalam karnaval tersebut. Janji panitia untuk menutup Jalan Malioboro hingga Alun-alun Utara, dan memasang barikade petugas di sekitar titik nol kilometer dekat kantor Pos Besar pada pukul 18.00 WIB tidak terlaksana. Akibatnya, arus lalu lintas kendaraan terlihat semrawut karena banyak kendaraan yang terjebak di kawasan itu.

Agus, salah satu pengunjung yang datang bersama keluarganya mengatakan bahwa Jogja Java Carnaval bisa menjadi salah satu daya tarik wisata jika dikelola dengan baik dan dia berharap jika event ini rutin diadakan selama 1 tahun sekali.

Sebagai penutupan, peserta karnaval menampilkan atraksinya di hadapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, Wakil Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, dan sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang hadir dengan mengenakan “surjan” (pakaian adat jawa untuk pria) maupun kebaya untuk wanita. (BERTHA)

Rabu, 04 November 2009

JPC (Jogja Pitung Club)

(Jogja 18/10) Dari sekian banyak komunitas motor yang ada di Jogja, terdapat satu yang memiliki nama cukup unik, yaitu JPC (Jogja Pitung Club). JPC sendiri merupakan klub motor Honda C-70. Motor ini dapat dikategorikan sebagai motor bebek yang cukup tua.

Dengan anggota aktif lebih dari 100, JPC memiliki kegiatan rutin jambore nasional antar club C-70 lainnya di luar daerah Jogja. Walaupun motornya bisa dianggap uzur, namun jangan tanya kemampuannya. Bahkan touring bersama kerap dilakukan dan menjadi kegiatan andalan komunitas ini. “Kami pernah touring sampai Lombok dan Lampung.” Ungkap salah seorang senior dan pendiri JPC. Melanglang buana dengan motor pitung bagi anggota JPC merupakan hobi yang mengasyikan. Lucas yang telah bergabung sejak tahun 2000 mengungkapkan bahwa touring menggunakan motor pitung ini sudah menjadi bagian dari aktivitasnya yang menyenangkan. Kegiatan lain JPC yang telah berganti nama tiga kali sejak dibentuk tahun 1996 ini adalah bakti social, seperti yang dilakukan JPC sewaktu gempa menggoyang Jogja lebih dari 3 tahun lalu. Untuk saat ini, JPC sedang sibuk mengikuti jambore nasional antar club Honda C-70 lainnya di Bandung. Selain acara-acaranya, JPC memiliki ciri khas lain. Bukan namanya komunitas motor kalau tidak ada modifikasi yang unik dan khas. Dan JPC memiliki kekhasan berupa mark-up pitung menjadi motor trail.

Komunitas klub motor ini kerap nongkrong pada malam Kamis dan malam Minggu di depan Gedung Agung Jogja. klub ini sangat terbuka bagi masyarakat umum, bagi yang ingin bergabung maupun bagi yang hanya inigin berbagi informasi. "Jika ingin mengobrol tentang motor pitung atau saling tukar informasi dengan para anggota bisa datang berkumpul di depan gedung Agung tiap malam Minggu di sini," ujar Rifky salah seorang anggota JPC yang seorang mahasiswa.

Kartiko Wulantomo (153070313)

Feature News : Andongku Hidupku

Pria beruban dan berwajah keriput itu setia menunggu penumpang di depan Toko Ramai, Malioboro. Entah sampai kapan dia menunggu. Tidak peduli panas menyengat kulit atau hujan deras mengguyur.


Gito Suryo Pranoto atau yang biasa disapa Pak Gito sudah menghabiskan 44 tahun hidupnya sebagai seorang kusir andong untuk menghidupi keluarganya. Dari jam sembilan pagi hingga jam empat sore, pria beranak dua itu menanti calon penumpang yang semakin sedikit jumlahnya dari tahun ke tahun. Menurutnya hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di kota Yogyakarta ini, tidak seperti dahulu waktu kendaraan bermotor masih ibarat barang mewah, andong Pak Gito masih banyak diminati masyarakat. Oleh karena itu Pak Gito sekarang hanya mangkal di kawasan Malioboro. Padahal dahulu pria yang setia memakai blangkon ini juga sempat mangkal di terminal Umbulharjo ataupun stasiun Lempuyangan. "Sekarang jaman sudah maju, banyak kendaraan bermotor di mana-mana, jadi saya lebih milih di sini terus saja", ujarnya sambil menghisap rokok,

Menurutnya banyak sekali tantangan menjadi kusir andong. Pagi-pagi sekali pria berdomisili di Kota Bantul ini harus bangun untuk menyiapkan segala sesuatunya. Mulai dari memberi makan sampai memandikan kuda. Perjalanan dari rumah Pak Gito sampai Malioboro membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sesampai di sana pria berumur 65 tahun kebanyakan hanya menghabiskan waktu untuk duduk di andongnya sambil menghisap rokok. Jarang sekali masyarakat yang mau naik andongnya. Rata-rata pria murah senyum ini hanya mendapat dua penumpang dalam sehari. Akibatnya penghasilan Pak Gito sehari rata-rata hanya Rp. 40.000 rupiah. Namun untuk hari libur bisa mencapai Rp. 100.000 rupiah per hari. "Yaa..kalau hari biasa seperti ini saya cuma dapat 40 ribu sehari, tapi kalau hari libur seperti lebaran bisa sampai 100 ribu", kata bapak berkumis tipis ini sambil tertawa kecil.

Kesulitan menjadi kusir andong tidak sampai di situ. Sangat sulit dan mahal untuk merawat kuda. Dalam sehari Pak Gito harus merogoh kocek sebesar Rp. 20 ribu rupiah untuk membeli katul dan vitamin untuk kudanya. Hal ini harus dilakukannya sebab jika kudanya sampai sakit, suami seorang buruh cuci itu tidak bisa bekerja lagi karena hanya mempunyai seekor kuda. Terlebih lagi jika ada komponen andongnya yang rusak, Pak Gito juga harus mereparasikan andongnya di daerah Ngoto, Bantul. Tentunya juga butuh biaya yang tidak sedikit.

Di tengah kesulitan seperti tersebut di atas, Pak Gito masih beruntung. Pasalnya pria berbadan kurus itu mendapat uang Rp 2 juta setiap tahunnya dari sebuah perusahaan minimarket yang memasang iklan di andongnya. Selain itu Pak Gito kadang mendapat komisi dari sebuah toko bakpia terkemuka di kota ini jika mampu mengantar penumpang ke toko bakpia tersebut. Namun walaupun sudah mendapat itu semua, kakek dari tiga orang cucu ini masih mengharapkan perhatian dari pemerintah kota Yogyakarta yang dianggapnya kurang memperhatikan nasib kusir-kusir andong seperti Pak Gito yang telah melesarikan budaya tradisional Yogyakarta ini.


(Kartiko Wulantomo)