Seorang pria sedang mengobrol dengan Lena (nama disamarkan) di warung miras sarkem. Lena adalah salah satu PSK yang telah bekerja di sarkem selama sepuluh tahun. Bagaimana nasib lena dan kawan-kawannya, jika sarkem di relokasi???
Berikut ini penelusuran Floopnews untuk mengungkap sisi lain sarkem....
Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Sarkem yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Menurut pengakuan salah satu PSK disana, Lena (bukan nama sebenarnya, 37 tahun), tarif yang biasa dipatok di sarkem rata-rata berkisar dari 50-300 ribu rupiah tergantung dari usia PSK. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Sarkem sendiri terletak di Kampung Sosrowijayan. Orang Jogja pasti mengenal kawasan ini. Sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kotaJogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu.
Pasar Kembang atau sarkem sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. Sebelumnya, daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu.
Perubahan nama dari Balokan menjadi Sarkem, belum bisa dipastikan kapan. Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Hal ini terbukti dengan peraturan tentang pelarangan peraturan di DIY yang tercantum dalam Rijksblaad tahun 1924 dan Peraturan Daerah No. 15/1954. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang. RW Sosrowijayan Kulon ini terdiri dari 4 RT yaitu RT 14, 15, 16 dan 17 dengan luas wilayah 112.500m2.
Pada tahun 2003 sarkem dihuni oleh 63 KK, terdiri dari 223 jiwa laki-laki dan 216 perempuan. Jumlah ini di luar jumlah Pekerja Seks yang tinggal dan kerja di wilayah ini. Jumlah Pekerja Seks yang kerja di Sarkem pada tahun 2008 mencapai kurang lebih 300-400 jiwa, yang terbagi dalam dua kategori, Pekerja Seks yang bekerja dan tinggal di wilayah Sarkem dan Pekerja Seks yang tinggal di luar Sarkem tapi ‘mencari uang’ di Pasar Kembang. Dengan jumlah, jika siang hari kurang lebih tiga ratus orang dan sore hingga dini hari kurang lebih 400 orang Pekerja Seks (data statistic yang rinci dan pasti sulit untuk didapat karena mobilitas Pekerja Seks yang tergolong tinggi
Bagi wisatawan mancanegara sendiri, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.
Ketenangan Sarkem kembali terusik dengan adanya wacana menarik belakangan ini ketika banyak orang mengusulkan agar dijadikan kawasan wisata andalan bagi Prpvinsi DIY. Termasuk kemungkinan sebagai wisata seks. Pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), “Sarkem cukup prospektif dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di DIY termasuk kemungkinan sebagai kawasan wisata seks, kita gak usah munafiklah. Kalau ada “tamu” di hotel kita biasanya khan mereka mau diantar ke Sarkem. Di negara lain Malaysia dan Singapura misalnya, khan juga ada sentra wisata seks. Selain ada pendapatan untuk daerah khan penyebaran HIV/AIDS bisa dikurangi karena lebih terpusat di satu tempat saja” (www.wawasandigital.com, 07 Desember 2007).
Tentu saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jogjakarta. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai turut angkat bicara. Secara tegas orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu menolak wacana tersebut. Sultan menginginkan Jogjakarta maju dan terkenal karena budaya dan keramahannya, bukan karena sisi gelapnya. Janganlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.
Pengembangan Sarkem menjadi kawasan wisata wisata seks dipusat kota Jogja akan menyakitkan dan bertentangan dengan ruh Keistimewaan DIY. Masyarakat Yogya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, kesopanan, kesusilaan dan agama.
“Masyarakat DIY hendaknya senantiasa tidak melupakan ruh Keistimewaan DIY, dengan garis imaginer Kraton-Panggung Krapyak yang mempunyai makna Hablu Minannas yaitu simbol hubungan Kraton dengan rakyat, serta garis imaginer Kraton-Merapi sebagai Hablu minallah yaitu simbol hubungan Kraton dan Rakyat Yogya dengan Allah SWT. Semua itu tercermin dengan kedudukan Sri Sultan HB yang memiliki gelar Abdurahman Sayyidin Panotogomo Kalifatullah, dimana Sultan adalah sebagai pemimpin agama dan wakil Tuhan di muka bumi, sehingga Kraton menjadi pusat religius, pemerintahan dan budaya” (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)
Setelah hingar bingar isu wisata lendir tersebut, muncul pula isu relokasi sarkem. Menanggapi hal itu Bakdi Sumanto, budayawan Jogja yang berprofesi sebagai pengajar di UGM berpendapat, “Keberadaan sarkem di jantung kota jogja yang berdekatan dengan wisata budaya seperti Malioboro dan tamansari sangat mengganggu dan sebaiknya direlokasi. Pemerintah kita kan punya dewan kebudayaan, alangkah baiknya jika berinisiatif mengadakan diskusi, seminar mengenai masalah ini lalu disiarkan di TV-TV local seperti Jogja TV, dsb. Supaya seluruh elemen masayrakat dapat berkonsolidasi menyelesaikan masalah sarkem ini”, ujarnya.
Hal itu turut pula ditegaskan oleh Kepala Bidang Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Drs. MC. Bisry Romly, Senin (14/12/2009) menyebutkan bahwa sementara ini, soal relokasi di wilayah sarkem juga belum jelas penanganannya. "Karena wilayah sarkem ini kan berada di bawah kelola Pemerintah Kota sedngkan dinas pariwisata hanya sebagai fasilitator untuk memberikan izin. Relokasi Sarkem harus ada penanganan terpadu, konsolidasi dari berbagai pihak terkait khusunya pemerintah kota, dinas pariwisata, dinas perizinan, dan pendapatan" sebutnya.
Bisry menambahkan, penanganan sarkem di KotaJogjakarta sebaiknya memang melibatkan kesadaran warga sekitar. Sarkem sebaiknya dipusatkan agar tidak bercampur dengan warga sekitar dan untuk mengurangi akses penyebaran HIV.
Dari sudut pandang agama, keberdaaan sarkem juga sangat diharamkan tapi kita tidak serta merta menyalahkan pekerja seks di sana. Ada banyak factor yang melatarbelakangi kenapa mereka memilih berprofesi sebagai PSK. Salah satunya adalah factor ekonomi dan biologis.
Salah satu ulama nyentrik di Kota Gudeg ini, Muhammad Hafidz berpendapat bahwa . Di jaman saijinah umar bin salam tidak ada korupsi. Mayarakatnya sudah kaya, sejahtera. Kalo umat udah sejahtera, masih ada saja yang mencuri, bisa dibilang hal itu bejat sekali. Kalau sekarang Indonesia mau menegakkan hukum islam itu sulit sekali, karena sistem sebenarnya sudah bagus namun tidak ada tindak lanjut sama sekali. Nah seperti sarkem, wacana relokasi sudah ada, tapi implementasinya belum ada. Hal itulah yang menjadi bukti penegakan hokum islam itu sulit sekali. Karena bukan apa-apa, tapi dengan adanya relokasi kita lebih memnusiakan manusia agar PSK lebih dihargai martabatnya.
Tetapi rencana relokasi sarkem tersebut mendapat tentangan dari PSK dan masyarakat sarkem sendiri karena jika rencana tersebut benar-benar terjadi maka masyarakat di sekitar sarkem akan kehilangan mata pencahariannya. Kebanyakan masayarakat di sana bermatapencaharian sebagai penjual miras, makanan, dan menyewakan losmen-losmen untuk PSK maupun para tamu yang berkunjung. Salah satu PSK disana, Lena mengatakan, ” Kita disini nyewa, sebulannya 320 ribu udah isi 4 kjamar plus kamar mandi dalam.Tapi ya begini ini, seadanya. Penduduk sini juga baik-baik. Kita Cuma tinggal bayar uang keamanan 100 ribu perbulan. Kalo ada tamu yang gag mau bayar, bakal dikerjain sama mereka. Kami udah betah dan gag mau kalo sarkem direlokasi”.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa PSK di sarkem sudah diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Mereka saling bersimbiosis mutualisme, saling menguntukan satu sama lain. Sehingga sulit bagi pemerintah untuk merelokasi sarkem tanpa adanya kerjasama dan komunikasi yang baik dengan penduduk sekitar maupun dengan para PSK nya.
Terlepas dari pro kontra di atas, terdapat potret buram pemerintah terhadap rencana relokasi sarkem dan wacana Jogja sebagai obyek wisata lendir. Dengan Kurangnya konsolidasi, penanganan yang cepat, dan kerjasama antar elemen-elemen dalam masyarakat bagaimana rencana relokasi ini dapat terwujud?? Bahkan apa jadinya jika wisata andalan Jogja beralih ke sector wisata lendir. Itu yang menjadi PR Pemerintah Kota Jogja saat ini dan masa yang akan datang.
“Ulama Nyentrik” Oleh : Bertha, Desti, dan Kartiko
Floopynews.com(15/12)- Telah berulang kali Muhammad Hafidz (30), seorang ulama nyentrik di masjid Al-Hikmah, Cantel, Jogjakarta) mendatangi pasar kembang atau lebih dikenal dengan sarkem. Eitts…jangan berpikir yang negatif dulu, karena kedatangannya ke sarkem bukan untuk menikmati kemolekan para WTS melainkan untuk curhat dari hati ke hati dengan para WTS. Memang aneh sekali kebiasaan ulama yang satu ini, dengan berganti kostum kebesaran yaitu dari celana congklang (celana di atas mata kaki) dan peci menjadi kemeja dan celana jeans layaknya laki-laki parlente dia mendatangi pusat prostitusi di Jogja tersebut. Untuk apa ulama nyentrik ini nekat curhat dengan WTS? Jawabannya hanya ada satu kata “menyamakan persepsi untuk kehidupan lebih baik dan mencari inspirasi untuk berdakwah” , begitu ucapnya di sela-sela wawancara dengan Floopynews.
Ulama paruh baya asal Surabaya, Jawa timur ini telah 6 tahun lamanya membina masjid Al-Hikmah. Muhammad Hafidz atau yang akrab disapa Hafidz sudah akrab dengan lingkungan prostitusi karena kebetulan sejak kecil tinggal di daerah yang tidak jauh dengan kawasan “Dolly” di Surabaya. Dia tahu bahwa bekerja sebagai WTS ternyata bukan merupakan suatu perkara mudah. Hafidz mengatakan, “Mereka (WTS) disana, memilih profesi ini bukan karena jalan hidup melainkan karena terpaksa. Ada banyak factor yang melatarbelakanginya, salah satunya ialah factor ekonomis dan biologis. Tetapi pada dasarnya, mereka masih mempunyai nurani, untuk itu jangan kita jauhi mereka, sebaiknya kita rangkul untuk bertobat”.
Untuk mengetahui lebih dalam kedekatan ulama nyentrik ini dengan dunia esek-esek, secara khusus Floopynews mewawancarai Hafidz di tengah kesibukannya membina mesjid Al-Hikmah, berikut petikan wawancara Floopynews:
Anda tampaknya dekat dengan dunia sarkem? Haha….memang benar. Saya sering “iseng “ ke sarkem. Maaf kata bukan untuk “itu” tapi saya iseng menanyai PSK Di sana. Saya bayar sesuai tarif dan bercengkerama di kamar yang sempit dan pengap. Sepengap beban yang menhimpit hidup mereka.
Apa saja yang anda tanyakan jika curhat dengan WTS? Semua saya tanyakan, saya melihat dari berbagai perspektif. PSK jangan kita anggap kotor. Mereka sebenarnya mempunyai factor mendasar yang melatarbelakangi kenapa akhirnya mereka memilih jalan ini. Bahkan kebanyakan dari mereka terpaksa menjalaninya.
Apakah WTS di sarkem terlalu diforsir kerjanya? Ya…sangat tidak humanis, belum ada pengelolaan atau managemen yang memadai.
Apakah mereka yang bekerja di sana belum mendapat jalan terang? Banyak orang menganggap mereka kotor. Tapi yang perlu dicatat adalah “kotor=kebersihan yang tidak terpelihara”. Untuk menemukan frustasi kebenaran harus dengan jalan tauhid=jalan sirik. Intinya, bukan berarti mereka 100%salah, ini kesalahan kita bersama dan harus dibenahi bersama. Banyak di antara mereka setelah mendengar saya berdakwah lalu bertobat. Alaupun itu semua butuh proses, ada yang mengawalinya dengan sholat namun ada juga yang ekstrem dengan meninggalkan profesinya sebagai WTS.
Lalu bagaimana tanggapan Anda mengenai rencana relokasi sarkem? Nurani saya terhentak sebagai orang beragama tetapi di satu sisi saya tetap berajalan di penegakan hukum islam. Di jaman saijinah umar bin salam tidak ada korupsi. Mayarakatnya sudah kaya, sejahtera. Kalo umat udah sejahtera, masih ada saja yang mencuri, bisa dibilang hal itu bejat sekali. Kalau sekarang Indonesia mau menegakkan hukum islam itu sulit sekali, karena sistem sebenarnya sudah bagus namun tidak ada tindak lanjut sama sekali. Nah seperti sarkem, wacana relokasi sudah ada, tapi implementasinya belum ada.
Intinya? Saya tidak berwenang untuk membrikan jawaban atas pertanyaan ini. Tapi menurut pendapat saya pribadi…jika sarkem direlokasi maka akan lebih humanis, mereka akan lebih ada martabatnya di mata masyarakat.Pada dasarnya ini lebih kepada pilihan hidup mereka.
Pandangan Anda secara ideologis terhadap wacana relokasi ini? Kalau dipandang secara ideologis sebenarnya agama tidak bisa memberikan solusi. Agama hanya bisa memberi tahu mana yang haram dan mana yang halal. Flashback ke citra jogja tempoe doeleoe, tahun 2004 saya menemukan banyak wisata lendir seperti di Jogja, Surabaya , Bandungan. Jogja tempo dulu sebagai mazhab pengetahuan, budaya sekarang diwarnai dengan jogja sebagai kota sex.
Apakah wacana relokasi sarkem ini ada dampaknya? Tentu saja ada…lha wong kalo sarkem direlokasi hal ini jutru membuat martabat PSK jauh lebih baik. Kalo pait-paitnya digusur…ya malah repot. Virus bisa menyebar. Bisa-bisa kantin UIN jad sarang prostitusi hehe. Jadi lebih baik tetap terfokus pada satu tempat tapi direlokasi saja. Ke gamping atau kemana yang penting jangan di pusat kota seperti ini.
Ulama memang tidak harus jijik dengan tempat-tempat seperti sarkem dan sejenisnya, justru dari tempat syirik macam ini mereka dapat merangkul orang-orang yang masih dalam kuasa gelap untuk kembali di jalan-Nya. Semoga saja ulama-ulama nyentrik (dalam pengertian positif tapi) makin berkembang di Indonesia. Sehingga citra Islam yang sekarang mulai goyah karena identik dengan kekerasan akibat isu teroris bom bali dapat terhapuskan dengan orang-orang yang penuh cinta kasih merangkul sesamanya menuju jalan tobat seperti yang telah dilakukan Muhammad Hafidz.
Letak Sarkem yang strategi yakni di Dekat Malioboro, notabene adalah ikon wisata budaya Jogja dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap citra Jogja sebagai kota budaya dan menimbulkan gesekan di dalam masyarakat Jogja sendiri.
SARKEM DAN BUDAYA JOGJA Oleh : Rara Dinar dan Bertha
Floopynews(28/12)-Pasar Kembang atau orang sering menyebutnya Sarkem, terletak di Kampung Sosrowijayan. Orang Jogja pasti mengenal kawasan ini. Sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu.
Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. Sebelumnya, daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu.
Perubahan nama dari Balokan menjadi Sarkem, belum bisa dipastikan kapan. Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang. RW Sosrowijayan Kulon ini terdiri dari 4 RT yaitu RT 14, 15, 16 dan 17 dengan luas wilayah 112.500m2.
Pada tahun 2003 dihuni oleh 63 KK, terdiri dari 223 jiwa laki-laki dan 216 perempuan. Jumlah ini di luar jumlah Pekerja Seks yang tinggal dan kerja di wilayah ini. Jumlah Pekerja Seks yang kerja di Sarkem pada tahun 2008 mencapai kurang lebih 300-400 jiwa, yang terbagi dalam dua kategori, Pekerja Seks yang bekerja dan tinggal di wilayah Sarkem dan Pekerja Seks yang tinggal di luar Sarkem tapi ‘mencari uang’ di Pasar Kembang. Dengan jumlah, jika siang hari kurang lebih tiga ratus orang dan sore hingga dini hari kurang lebih 400 orang Pekerja Seks (data statistic yang rinci dan pasti sulit untuk didapat karena mobilitas Pekerja Seks yang tergolong tinggi
Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Sarkem yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Menurut pengakuan salah satu PSK disana, Lena (bukan nama sebenarnya, 37 tahun), tarif yang biasa dipatok di sarkem rata-rata berkisar dari 50-300 ribu rupiah tergantung dari usia PSK. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Salah satu PSK disana, Lena mengatakan,” Kita disini nyewa, sebulannya 320 ribu udah isi 4 kjamar plus kamar mandi dalam.Tapi ya begini ini, seadanya. Penduduk sini juga baik-baik. Kita Cuma tinggal bayar uang keamanan 100 ribu perbulan. Kalo ada tamu yang gag mau bayar, bakal dikerjain sama mereka. Kami udah betah dan gag mau kalo sarkem direlokasi”.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa PSK di sarkem sudah diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Mereka saling bersimbiosis mutualisme, saling menguntukan satu sama lain. Bagi wisatawan mancanegara sendiri, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.
Nama Sarkem kembali menjadi wacana menarik belakangan ini ketika banyak orang mengusulkan agar dijadikan kawasan wisata andalan bagi Prpvinsi DIY. Termasuk kemungkinan sebagai wisata seks. Pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), “Sarkem cukup prospektif dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di DIY termasuk kemungkinan sebagai kawasan wisata seks, kita gak usah munafiklah. Kalau ada “tamu” di hotel kita biasanya khan mereka mau diantar ke Sarkem. Di negara lain Malaysia dan Singapura misalnya, khan juga ada sentra wisata seks. Selain ada pendapatan untuk daerah khan penyebaran HIV/AIDS bisa dikurangi karena lebih terpusat di satu tempat saja” (www.wawasandigital.com, 07 Desember 2007).
Tentu saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jogjakarta. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai turut angkat bicara. Secara tegas orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu menolak wacana tersebut. Sultan menginginkan Jogjakarta maju dan terkenal karena budaya dan keramahannya, bukan karena sisi gelapnya. Janganlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.
Pengembangan Sarkem menjadi kawasan wisata wisata seks dipusat kota Jogja akan menyakitkan dan bertentangan dengan ruh Keistimewaan DIY. Masyarakat Yogya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, kesopanan, kesusilaan dan agama.
“Masyarakat DIY hendaknya senantiasa tidak melupakan ruh Keistimewaan DIY, dengan garis imaginer Kraton-Panggung Krapyak yang mempunyai makna Hablu Minannas yaitu simbol hubungan Kraton dengan rakyat, serta garis imaginer Kraton-Merapi sebagai Hablu minallah yaitu simbol hubungan Kraton dan Rakyat Yogya dengan Allah SWT. Semua itu tercermin dengan kedudukan Sri Sultan HB yang memiliki gelar Abdurahman Sayyidin Panotogomo Kalifatullah, dimana Sultan adalah sebagai pemimpin agama dan wakil Tuhan di muka bumi, sehingga Kraton menjadi pusat religius, pemerintahan dan budaya” (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)
Ditambahkan pula oleh Bakdi Sumanto, budayawan Jogja yang berprofesi sebagai pengajar di UGM, “Keberadaan sarkem di jantung kota jogja yang berdekatan dengan wisata budaya seperti Malioboro dan tamansari sangat mengganggu dan sebaiknya direlokasi. Pemerintah kita kan punya dewan kebudayaan, alangkah baiknya jika berinisiatif mengadakan diskusi, seminar mengenai masalah ini lalu disiarkan di TV-TV local seperti Jogja TV, dsb. Supaya seluruh elemen masayrakat dapat berkonsolidasi menyelesaikan masalah sarkem ini”, ujarnya.
Terlepas dari pro dan kontra tentang sarkem, ada baiknya kita menilik pada kearifan local kota Jogja. Jangan karena ingin mendongkrak sektor wisata seperti Negara-negara asia lainnya seperti Thailand misalnya lalu Jogja sebagai kota religi dan budaya menghalalkan segala cara. Semoga saja pemerintah mempunyai solusi yang terbaik untuk masalah ini.
Jogja(28/12), Floopynes.com- Bukti bahwa sarkem merupakan kawasan prostitusi tertua di Jogjakarta didukung oleh peraturan larangan pelacuran di DIY. Berikut ini mengenai peraturan larangan pelacuran di DIY, yang dapat menjadi salah satu bukti bahwa praktek prostitusi di Wilayah Pasar Kembang sudah berlangsung sejak lama.
Produk PERDA dibawah ini dikeluarkan oleh pemerintah Belanda dan DIY, sebagai Berikut: Rijksblaad tahun 1924, nomor 19. Artikel 1 dan 2 menyebutkan larangan rumah-rumah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan pelacuran. Ini berarti jauh sebelum peraturan tersebut dikeluarkan sudah ada kegiatan pelacuran di Sarkem Peraturan Daerah No. 15/1954, yang dikeluarkan pada tanggal 2 November 1954.
PERDA ini mengenai penutupan rumah-rumah pelacuran. Pasal 1, yang dimaksud dengan rumah-rumah pelacuran ialah rumah atau bangunan lainnya, termasuk pekarangan yang digunakan untuk pelacuran. Pelacuran ialah tindakan orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina dengan mendapatkan upah. Pasal 2 alinea 3 berbunyi penutupan tersebut (ayat 1) berlaku bagi seluruh/sebagian rumah atau pekarangan tersebut. Pasal 3 berbunyi bahwa siapa pun dilarang mendatangi rumah atau pekarangan itu kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 5 dalam peraturan ini. Pasal 7, Larangan tersebut dapat dicabut apabila dalam tiga bulan kemudian rumah itu tidak dipergunakan untuk pelacuran, penutupan rumah tersebut diperpanjang lagi apabila masih dipergunakan untuk pelacuran. Pasal 8 berbunyi pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal 3 dan 4 dapat dikenakan kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya, Rp. 100,- (seratus rupiah).
Peraturan Daerah No. 18/1954 yang dikeluarkan pada tanggal 4 November 1954, tentang larangan pelacuran di tempat-tempat umum. Pasal 1 mengenai batasan mengenai pelacuran, yaitu tindakan orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina dengan mendapatkan upah. Pasal 2 berisi tentang maksud tempat umum yaitu jalan-jalan, tanah-tanah lapang, ruangan-ruangan dan lain sebagainya yang oleh umum mudah dilihat atau didatangi. Pasal 3 berisi, tentang larangan bagi siapa saja yang ada di tempat umum membujuk orang lain baik dengan perkataan, perbuatan, isyarat dan cara lain yang bermaksud untuk melakukan perbuatan mesum. Pasal 5 bagi siapa saja yang melanggar pasal 3 tersebut dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda setinggi-tingginya seratus rupiah.
Pemerintah daerah melihat bahwa meskipun telah ada larangan kegiatan pelacuran di rumah-rumah yaitu dengan dikeluarkannya Rijksblaad tahun 1924, nomor 19 dan peraturan daerah No. 15/1954, tetapi masih tetap ada rumah-rumah yang dipergunakan untuk kegiatan pelacuran oleh karena itu dikeluarkan keputusan kepala daerah No.166/K.D/1974, yang keluarkan pada tanggal 15 November 1974 tentang penunjukkan tempat untuk proyek resosialisasi Wanita Tuna Susila di kota Yogyakarta.
Keputusan tersebut antara lain menunjuk tanah pemerintah seluas 7200 meter persegi terletak di dusun Mrican, tepatnya sebelah barat Sungai Gadjah Uwong, sebagai tempat pelaksanaan Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila Yogyakarta. Kemudian untuk merealisaikan keputusan kepada daerah tersebut pada tanggal 20 November 1974 Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan NO 17/K.D/1974 tentang tim pelaksana Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila.
Pada salah satu keputusannya dicantumkan anggota tim pelaksana Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila tersebut antara lain terdiri dari Tripida kecamatan setempat dan Ketua Rukun kampung Wilayah Sarkem. Selanjutnya pada tanggal 2 Maret 1976, atas nama Walikota Pj. Sekwilda pada saat itu, mengeluarkan surat pemerintah No.02940/01040/Sek./1976 tentang perintah pelaksanaan pemindahan mucikari beserta anak buahnya selambat-lambatnya tanggal 2 Maret 1976, pukul 24.00WIB dan melaksanakan bimbingan dan pengawasan kampung lama yang ditinggalkan.
Setelah Resosialisasi Wanita Tuna Susila di Kota Yogyakarta terealisasi, pada tanggal 6 Maret 1976, Pjs Sekretaris Daerah mewakili Walikota Yogyakarta mengeluarkan instruksi Walikota Madya kepada daerah tingkat II No. 01/IN/1976 tentang mengintensifkan dan menertibkan pelaksanaan peraturan daerah No.18 tahun 1954. Dalam instruksi tersebut dikemukakan perlu adanya tindak lanjut tahap pemberantasan dan pembersihan pelacur di Wilayah Kota Yogyakarta, terkecuali tempat yang dimaksud dalam keputusan Walikota Yogyakarta No.166/KD/1974. selain itu, tim pelaksana dalam keputusan No.170/KD/1974 agar mengaktifkan dan menertibkan pelaksanaan peraturan daerah nomor 18 tahun 1954.
Pada tanggal 1 September 1977, Walikota Yogyakarta memandang perlu melengkapi surat keputusan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan resosialisasi di Desa Mrican, yaitu dengan mengeluarkan keputusan No. 93/K.D/1977 tentang jalur pemisahan antara areal Resosialiasi Wanita Tuna Susila dan perkampungan umum sekitarnya. Pemerintah melihat bahwa Wanita Tuna Susila, Gelandangan dan Pengemis yang selalu ada maka pada tanggal 24 agustus 1989 dikeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DIY No. 54/TIM/1989, tentang pembentukan tim penanggulangan Gelandangan, Pengemis dan Wanita Tuna Susila di Propinsi DIY. Masih terkait dengan hal diatas pada tanggal 23 Desember 1993, Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan No.1040/KD/1993 tentang pola penanggulangan gelandangan, pengemis dan pola penanggulangan Wanita Tuna Susila.
Pada keputusan ini Bab 3 (Tiga) merupakan pola penanggulangan Wanita Tuna Susila, didalamnya termasuk penanggulangan secara preventif, represif dan kuratif. Walaupun dalam pola penanggulangan Wanita Tuna Susila diatas tertera pula resosialisasi tetapi pada tanggal 31 Desember 1997, Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan No. 408/KD/1997 tentang Pencabutan Keputusan Walikota Yogyakarta No.166/KD/1974 tentang penunjukkan tempat untuk proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila.
Walaupun ada PERDA yang melarang Wilayah Sosrowijayan Kulon sebagai tempat praktek prostitusi yang diberlakukan sejak tanggal 2 Maret tahun 1976, tapi selama itu juga dan hingga saat ini tahun 2009, wilayah ini tetap digunakan untuk kegiatan prostitusi. Hal ini jelas, karena ada ikatan ekonomi yang kuat antara warga setempat dengan Pekerja Seks, dan juga dengan lingkungan Sosrowijayan Wetan yang menyediakan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata, karena daerah ini merupakan jantung Kota Yogyakarta dan dekat dengan lingkungan pariwisata andalan DIY yaitu Malioboro, Keraton, Taman sari, dll
Penulis : Kartiko dan Bertha (Referensi dari berbagai sumber)
Fllopynews ditengah wawancara dengan Kepala Bidang Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata, Drs. MC Bisry Romly.
Koordinasi Dinas Pariwisata dan Pemkot Menangani Relokasi Sarkem Belum Dilakukan
JOGJA (14/12), Floopynews.com - Koordinasi bersama antara dinas Pariwisata dan Pemerintah Kota yang mestinya dilakukan untuk mengatasi permasalahan relokasi sarkem belum dilakukan. Padahal, persoalan sarkem telah membawa citra negative bagi kota Jogja sebagai kota seni dan budaya .
Kepala Bidang Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Drs. MC. Bisry Romly, Senin (14/12) menyebutkan bahwa sementara ini, soal relokasi di wilayah sarkem juga belum jelas penanganannya. "Karena wilayah sarkem ini kan berada di bawah kelola Pemerintah Kota sedngkan dinas pariwisata hanya sebagai fasilitator untuk memberikan izin. Relokasi Sarkem harus ada penanganan terpadu dan konsolidasi dari berbagai pihak terkait khususnya pemerintah kota, dinas pariwisata, dinas perizinan, dan pendapatan" sebutnya.
Bisry menambahkan, penanganan sarkem di Kota Jogjakarta sebaiknya memang melibatkan kesadaran warga sekitar. Ia mengatakan, sarkem sebaiknya dipusatkan agar tidak bercampur dengan warga sekitar dan untuk mengurangi akses penyebaran HIV.
Beberapa waktu yang lalu muncul berbagai argumentasi terkait dengan tata kota dan tata kelola kota yogya dengan mengedepankan kekhasan tanpa meninggalkan fungsinya sebagai penyokong perekonomian Ibukota propinsi.
Ada wacana dari beberapa kalangan untuk menata kembali dan menjadikan kawasan Pasar Kembang (Sarkem) sebagai bagian dari paket wisata yogyakarta yakni sebagai bagian dari paket “wisata sex” untuk mendukung pencanangan kembali kota yogya sebagai daerah tujuan wisata.
Pasar kembang yang sejak dulu memang identik dengan komplek “wisata lendir” mau tidak mau memang sudah menjadi bagian dari perjalanan panjang kota yogyakarta hingga menjadi seperti sekarang ini. Keberadaannya tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pola masyarakat jawa jaman dulu dimana berbagai hal yang bersinggungan dengan hasrat dan imani tidak dapat dipisahkan begitu saja. Cara pandanglah yang membuat segala sesuatu yang pada awalnya merupakan bagian dari heterogenitas menjadi sesuatu yang terpolar. Ya, yakni antara kekhasan budaya dan kultur dengan hakekat kemanusiaan raga yang tidak juga dapat dihapus dengan begitu saja meski mengatasnamakan moral dan religiusitas.
Lokalisasi yang keberadaannya tepat didaerah pusat kota dan lingkup pemerintahan hendaknya disikapi dengan rasio yang bukan hanya menilik dari keberadaannya sekarang, melainkan menarik mundur mengapa sejak awal komplek itu berada tepat didaerah pusat keramaian dan pusat pemerintahan!? Bukankah tidak mustahil kompleks semacam itu digusur keberadaannya dengan dalih mengganggu kepentingan umum dan tidak sesuai dengan norma yang ada. Mengapa kota yogya yang sarat dengan nuansa religius, kultural dan budaya “malah” memangku kompleks itu diantara deretan komplek strategis dan memiliki kedudukan yang penting dalam tata kelola pemerintahan!?
Entah siapa yang memiliki wewenang untuk menjawab secara tepat pertanyaan ini meski sampai detik ini masih banyak sekali perdebatan yang mempertanyakan dan mempermasalahkan keberadaan sarkem didaerah yang begitu strategis baik dalam peta pemerintahan maupun ekonomi. (Tulisan By. Dedi Wuluh).
Kami ingin mengembangkan isi dari tulisan di atas menjadi sebuah laporan mendalam agar bisa menjawab pertanyaan yang masih belum terselesaikan yaitu Mengapa kota Yogya yang sarat dengan nuansa religiutsitas, kultural, dan budaya “malah” memangku kompleks itu di antara deretan komplek strategis dan memiliki kedudukan penting dalam tata kelola pemerintahan?! Siapa yang berwenangmenangani masalah ini?? Bagaimana pandangan dari pihak-pihak yang pro maupun kontra tentang keberadaan wisata lendir di Jogja?? Semua akan dikupas dengan tuntas, tajam, dan mendalam dalam In depth reporting : Wisata Lendir di Kota Budaya Jogja
Objek Observasi: Lokalisasi Sarkem di Jalan Pasar Kembang Yogyakarta
Narasumber:
- Kepala Dinas Pariwisata Jogjakarta (sedang diusahakan, kalo tidak dapat ya…stafnya saja)
Yeah, setiap tanggal 10 Nopember bangsa kita memperingatiHari Pahlawan. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawanyang telahmengorbankan harta dan nyawanya demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta. 64 tahun silam para pahlawan kita telah bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya.
Pada saat itu para pejuang kita hanya menggunakan senjata bambu runcing, namun mereka tidak pernah gentar melawan penjajah. Tentu kita masih ingat tokoh yang paling berperan penting dalam perjuangan saat itu. Bung Tomo, dia adalah salah seorang pemimpin perjuangan rakyat Surabaya, dengan suara yang menggelegar laksana halilintar mampu membakar semangat para pejuang untuk membasmi penjajah yang mencoba merampas Surabaya.
Tiap tahun kita memperingati Hari Pahlawan tetapi apa yang kita rasakan? Apakah kita betul-betul menghayati makna Hari Pahlawan itu sendiri. Aku pribadi merasa bahwa kurangada greget dalam setiap peringatannya, bahkan dari tahun ke tahun peringatan hari Pahlawan sekedar seremonial belaka. Padahal bangsa kita tercinta sekarang sedang membutuhkan banyak pahlawan dalam berbagai bidang kehidupan. Pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks menghayati makna hari Pahlawan sebenarnya tugas kita saat ini adalah melanjutkan perjuangan para Pahlawan. Tentu saja, perjuangan yang kita lakukan harus relevan dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi saat ini. Kita bisa lakukan dari hal kecil paling tidak menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri, keluarga,dan orang-orang di sekitar kita.
Lihatlah lingkungan di sekitar kita, masih banyak orang yang belum mengapresiasi acara seni dan budaya. Greget berkesenian tampaknya mulai luntur dihantam kemajuan jaman yang serba modern. Contohnya adalah di Malioboro. Sekarang, pernahkah Anda dengar ada lagu yang bercerita tentang Malioboro yang dinyanyikan oleh penyayi-penyanyi kita. Sudah jarang bukan. Padahal dulu ada Anggun C Sasmi, Katon Bagaskara, dan masih banyak lagi yang menyayikan lagu bertema jogja dan malioboro.Sungguh ironi memang, di tengah semangat pemerintah daerah yang menggebu-gebu untuk memajukan malioboro sebagai sektor wisata seni di jogja, senimannya malah mlempem dalam artian hanya sedikit yang bermunculan. Dengan digelarnya serangkaian acara seni dan budaya di Malioboro diantaranya Jogja Java Carnival, Festival Malioboro 2009, dan Panggung Merah Putih diharapkan greget seniman malioboro dapat dihidupkan dan apresiasi warga jogja dapat ditumbuhkan khususnya dalam bidang berkesenian.
Memang tidak mudah kan menjadi pahlawan, harus berjuang keras dari nol untuk mencapai hal yang diinginkanLebih mudah jika kita menjadi “pahlawan kesiangan” yang ketika masa sulit tidak mau ikut berjuang, tetapi ketika masa sulit sudah berakhir mereka menyatakan diri sebagai pejuang.Oleh karena itu, mari kita hayati makna Hari Pahlawan 10 November dengan turut berpartisipasi memajukan seni dan budaya kota Jogja! (bertha/153070301)
Bunyi mesin tato berdesing dari dalam studio tato Eternity Jogja. Tampak sang pasien mengernyitkan dahi menahan sakit sedangkan sang tato artis dengan penuh konsentrasi dan kesabaran menggambar di atas kulit orang bak kanvas lukisan. Tidak lama kemudian, jadilah sebuah lukisan tubuh nan menawan. Sang pasien menyungging senyum dan pulang dengan penuh kepuasan. Di ruang tunggu masih ada pasien lain yang menunggu untuk “disakiti”.
Begitulah keseharian Sapto Raharjo atau yang akrab dipanggil dengan nama Athonk. Berawal dari sebuah studio mini di kawasan sosrowijayan malioboro, kini Athonk bersama satu rekannya telah membuka studio tato besar di kawasan gejayan Jogjakarta. Ditemui di sela-sela aktivitasnya yang padat, FLOPPYNEWS bertandang ke rumah si seniman tato ini di untuk mewawancarainya. Berikut cuplikan wawancara FLOOPYNEWS dengan Athonk.
Apakah anda idealis?
Tidak…dalam berkarya saya bukan termasuk idealis. Saya bahkan merasa belum pantas disebut seniman. Saya terbuka dengan berbagai pandangan tentang seni, saya rasa itulah yang membuat usaha tato saya tidak terhenti ketika toko tato yang lain pada bagkrut. Karena saya berusaha menyesuaikan dengan taste pelanggan, tidak dengan idealisme saya pribadi.
Goresan tato Anda begitu tegas, sepertinya mencerminkan karakter Anda?
Haha….tepat sekali! Saya memang tegas dalam segala hal, banyak orang bilang kalo goresan tato saya tegas. Setelah saya lihat-lihat…..hmmm betul juga ya. Ketika ada orang yang dating pada saya untuk ditato, saya ingin memberikan kepuasan yang maksimal salah satunya dengan outline gambar yang tegas dan jelas.
Kepuasan berbanding lurus dengan pundit-pundi uang tentunya?
Absolutely….itu salah satu yang melatarbelakangi saya membuka usaha tato. Saya ingin mendapat uang cash tiap harinya.
Di tengah persaingan usaha tato yang sangat ketat, saya appreciate dengan Anda karena bisa bertahan 9 tahun lamanya, bagaimana caranya?
Modal utama adalah komunikasi. Kamu anak komunikasi pasti pernah dapat mata kuliah tentang public relation. Nah, saya sedang mencoba untuk menjalankan tugas PR baik secara eksternal maupun internal.
Yang internal?
Pada dasaranya, sederhana saja. Saya sebagai owner Eternity Tattoo Parlor Jogja sebisa mungkin menjalin hubungan baik dengan pihak management. Supaya jika ada kendala-kendala dapat dibicarakan bersama dan dicari solusinya. Intinya, supaya tidak terjadi miss understanding.
Yang eksternal?
Tentunya menjaga hubungan baik dengan pelanggan, saya berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan. Mereka mempunyai hak untuk komplain bila kurang puas dan kami melayaninya.
Tapi kesuksesan Eternity tampaknya tidak lepas dari lingkungan Anda di Sosrowijayan Malioboro?
Ya….bisa dibilang demikian. Saya tumbuh dan berkembang di sana. Dari kecil, dewasa hingga membuka studio tato disana, saya sering bergaul dengan para bule. Pergaulan dengan bule itulah, membuat saya fasih berbahasa inggris. Walaupun banyak orang bilang inggris “sosro” bukan sastra inggris haha. Dengan banyak bergaul dengan para bule yang berasal dari berbagai kalangan secara tidak langsung menambah koneksi bisnis saya sehingga usaha tato saya makin berkembang. Akhirnya saya memutuskan untuk mendirikan studio Tato yang lebih besar di gejayan.
Menurut Anda pertumbuhan seniman di malioboro saat sekarang bagaimana?
Memprihatinkan melihat pertumbuhan seniman di malioboro yang dari tahun ke tahun semakin merosot. Tampaknya nuasannya malioboro telah berubah. Lihat saja sekarang yang ada hanya pedagang-pedagang dan kotoran kuda tentunya. (Sambil tersenyum). Seniman-seniman besar yang dulu tumbuh dan besar di Malioboro tampaknya tidak mengalami regenerasi.
Harapan anda?
Saya sebagai salah satu orang yang mencintai seni dan tumbuh di lingkungan malioboro mengharapkan agar greget berkesenian dapat ditingkatkan dan dikembangkan. Majukan budaya dan seni kota Jogja! (BERTHA/153070301)
Kemandirian Seorang Sapto di atas Kursi Roda
Jogja -"Walau keadaan saya seperti ini, saya tidak mau dikasiani sama orang lain, saya ingin hidup mandiri, dan tidak memebebani kedua orangtua saya." Hal itulah yang terucap dari bibir Sapto (42), loper koran di sekitar jalan Kapas.Bersama kursi rodanya, Sapto menelusuri jalan Kapas hingga jalan Kenari. Ia mulai menjajahkan koran. Inilah kegiatan rutin Sapto tiap harinya. Tak peduli dengan kendaraan-kendaraan yang sewaktu-waktu dapat membahayakan nyawanya.
Dalam sehari, Sapto memperoleh penghasilan kurang lebih Rp 10.000 dari hasil jualan korannya. "Uangnya biasa saya pakai untuk beli rokok mbak, untuk mengalihkan rasa sakit kaki saya. Tiap malam kaki saya nyeri terus, gak tahan saya mbak," ujar Sapto.
Sejak umur 14 tahun Sapto sudah mulai menggunakan kursi roda. Kakinya mengecil akibat tertimpa bahan bangunan. Karena kondisi ekonomi keluarga Sapto yang tidak memungkinkan untuk membawa Sapto berobat ke Rumah Sakit, akhirnya Sapto hanya dibawa ke tukang pijat. "Awalnya tidak apa-apa mbak, tapilama-lama kaki saya jadi lemah dan akhirnya mengecil. Semenjak itu saya tidak dapat berdiri lagi."
Namun kekurangan dalam dirinya tak membuat pria asli Jogja ini pantang menyerah. Dia rela mengerjakan apapun demi membahagiakan orangtuanya karena hanya orangtuanya yang ia miliki saat ini."Sudah cukup saya merepotkan orangtua saya, terutama ibu saya. Beliau yang selalu menyiapkan keperluan-keperluan saya, beliau juga yang mencuci baju saya. Saya gak bisa bayangin kalau suatu saat nanti ibu saya dipanggil sama yang di Atas terlebih dahulu. Apa jadinya saya nanti? Makanya saya punya tekad bahwa saya harus bisa hidup mandiri," ucap Sapto mengakhiri perbincangan dengan mata berkaca-kaca menahan haru. (Desti)
Minggu Malam (8/11) Ratusan penonton memadati area di sekitar monumen SO 1 maret untuk menyaksikan acara “Panggung Merah Putih”. Acara ini dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama adalah Malioboro Aksi Indie yang menampilkan 10 band hasil seleksi.
Setelah itu disusul sambutan dari wakil kepala dinas pariwisata DIY, Supriyanto. Dalam sambutannya, Supriyanto mengatakan bahwa wajah malioboro sudah berbeda, malioboro kini hanya sekedar sentra ekonomi saja bukan lagi sentra budaya seperti dulu kala. "Diharapkan dengan digelarnya acara ini secara rutin minimal satu kali setahun, budaya Indonesia khususnya di Malioboro bisa tumbuh dan berkembang kembali", ujarnya.
Sesi kedua adalah acara puncak untuk menutup Festival Malioboro 2009. Acara puncak ini merupakan gabungan antara sebuah pagelaran seni dengan fashion show bertema Radical Fashion. Pagelaran seni yang diberi nama”Jangan Takut Menjadi Indonesia” ini disutradarai oleh Pressiden Y.Kubbro. Pagelaran ini merupakan kolaborasi musik masa kini dengan musik tradisional yang melibatkan berbagai kelompok seni di Yogyakarta,diantaranya adalah Pressiden Band, Ari Wulu, PSM UII, Sampak Patrol, Kelompok Perkusi Jogja, TIUP Marching UII, Grasak, Jathilan, Radical Fashion Show, Langit Percussion, Prajurit Tambak Yudho,dan Al Mizan. (BERTA/ 301)
Features
Yogyakarta (7/11) – Pak Suwito (42) begitu dia akrab dipanggil, bapak tiga anak ini menggantungkan hidupnya berjualan martabak di sekitar jalan Seturan. Bapak berkumis asal Klaten ini sudah berjualan martabak selama 3 tahun.
“Ya gini-gini aja mas, kalau sedang ramai ya untung banyak kalau sepi ya rugi” begitu tandasnya ketika ditanya keuntungan tiap harinya. Tanpa letih dia membolak-balikan martabaknya, minyak yang panas seakan tidak terasa di tanganya yang hitam dan tebal. Rupanya selain berdagang martabak beliau juga membuka usaha menjahit dikala siang. “Ya, saya buka usaha jahitan untuk tambah-tambah biaya sekolah anak mas, kalau berdagang untungnya kan juga gak pasti” tandasnya.
Selain itu dulu Bapak ini juga pernah membuka bengkel las sepeda, yang hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya dia memutuskan untuk pindah ke kota Jogja ini, dan menggantungkan hidupnya disini. “kalau saya bias milih saya ingin jadi polisi” begitu katanya sambil tertawa. Polisi memang cita-citanya sejak awal, tetapi karena fisiknya kurang sehat dia selalu gagal dalam tes. Mugkin inilah contoh dari segelintir orang di Jogja yang mencoba bertahan hidup ditengah himpitan zaman.
Kota Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pendidikan, budaya dan pariwisata memiliki berbagai macam lokasi untuk dikunjungi sebagai obyek wisata. Salah satu kebanggaan yang dimiliki kotaYogyakarta adalah Malioboro. Malioboro selain disebut sebagai jantung kotaYogyakarta juga sebagai pusat keramaian yang meliputi berbagai kegiatan, baik pemerintahan, perdagangan, pariwisata, dsb.
Sebagai pusat keramaian, tentu saja malioboro mengandung sisi-sisi yang positif maupun negatif. Sisi positif malioboro antara lain sebagai pusat pemerintahan karena di Malioboro terdapat kantor gubernur DIY dan kantor DPRD propinsi DIY sebagai tempat untuk mengolah kebijakan pemerintahan di propinsi DIY. Di samping itu dari aspek perekonomian Malioboro dapat memberikan manfaat bagi pengusaha di sepanjang Jalan Malioboro dan juga tempat rekreasi bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Namun di balik itu, Malioboro sebenarnya mengandung banyak permasalahan. Pertama, kepadatan lalu lintas. Masyarakat yang berkunjung ke Malioboro sangatlah tidak nyaman dengan padatnya kendaraan yang meiewati jalan Malioboro baik siang maupun malam. Masih ada kendaraan yang berhenti di pinggir jalan walaupun dilarang polisi. Kepadatan kendaraan tersebut juga mengakibatkan polusi udara yang cukup signifikan.
Kedua, tingkat kebersihan sangat rendah. Setiap harinya Malioboro menghasilkan tumpukan sampah yang melimpah dan juga limbah yang dihasilkan oleh pedagang yang dibuang di sepanjang tempat. Lesehan Malioboro tidak mempunyai pembuangan air yang cukup memadai, hanya got dengan kapasitas cukup kecil saja yang dapat diandalkan. Oleh karena itu tidak jarang kita mencium aroma tidak sedap jika kita melintas di jalan tersebut.
Ketiga, pedagang yang tidak tertib. Misalnya pihak pemerintah merasa telah dirugikan dengan adanya pedagang lesehan dengan alasan mereka telah menutupi bangunan DPRD Prop DIY yang dijadikan sebagai simbol Pemerintahan tertinggi di tingkat legislatif. Gedung kokoh sebagai sibol keperkasaan pun seakan tidak dapat dikenal lagi oleh pengunjung yang melintas. Mereka hanya akan melihat warna-warni tenda yang menghiasi trotoar di depa DPRD.
Keempat, masalah parkir. Lahan parkir di Malioboro sangat terbatas, tidak seimbang dengan jumlah pengunjung. Hal ini menyebabkan trotoar yang semestinya digunakan untuk pejalan kaki digunakan sebagai tempat parkir. Masalah lahan parkir ini diperparah dengan masalah retribusi parkir. Sebagai contoh pengunjung bersepeda motor dikenakan biaya parkir Rp.1000,00 padahal tarif yang tertera di karcis Rp.500,00.
Kelima, gangguan keamanan. Tidak sedikit laporan pengunjung di Malioboro mengenai kehilangan, kecopetan, gendam, penipuan, dsb. Dengan padatnya pengunjung, sangat rawan terjadi gangguan-gangguan semacam itu.
Keenam, kompleksitas kegiatan. Maliboro merupakan lokasi kegiatan yang sangat komples. Segalanya terpusat di malioboro. Antara lain pemerintahan, pendidikan, perdagangan, wisata, hiburan. Akumulasi dari kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan kepadatan karena bertemunya banyak orang dengan berbagai macam kepentingan.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut ada beberapa solusi, antara lain :
Pertama, untuk mengurangi kepadatan lalu lintas perlu adanya aturan yang membatasi masuknya kendaraan ke jalan Malioboro. Misalnya kendaraan roda empat tidak boleh masuk ke kawasan Malioboro kecuali angkutan kota. Selain itu juga bisa diterapkan pada hari-hari tertentu Malioboro dibebaskan dari kendaraan bermotor. Hal ini selain mengurangi kepadatan, juga mengurangi polusi udara.
Kedua, untuk mengatasi tingkat kebersihan yang rendah perlu adanya petugas yang jumlahnya memadai serta diperbanyak tempat-tempat pembuangan sampah. Selain itu perlu dibangun saluran limbah yang memadai.
Ketiga, untuk menertibkan pedagang perlu adanya sosialisasi secara rutin tentang ketertiban, kebersihan, dan penentuan harga yang wajar terhadap barang dagangan khususnya warung-warung makan.
Keempat, untuk mengatasi masalah parkir perlu ditambah kantong parkir dan menertibkan petugas parkir. Bagi petugas parkir yang melanggar aturan akan dikenai sanksi yang tegas.
Kelima, untuk mengatasi gangguan keamanan perlu diperbanyak posko keamanan beserta petugasnya. Di samping itu juga perlu adanya tulisan peringatan bagi pengunjung agar lebih waspada, misalnya tulisan “Awas copet!”.
Keenam, untuk mengatasi kompleksitas kegiatan perlu dilakukan relokasi tempat bagi kegiatan tertentu ke luar Jalan Malioboro. Misalnya gedung Perpustakaan Daerah, bioskop, sebagian dari kantor Pemerintah Daerah DIY dan pedagang kaki lima.
Dengan solusi tersebut diharapkan Malioboro akan lebih nyaman dan aman bagi para pengunjung yang membutuhkan kenikmatan berkunjung di Malioboro. Mungkin hal ini akan cukup berat untuk dilaksanakan, namun apabila keadaan Malioboro dibiarkan seperti sekarang akibatnya Malioboro sebagai ikon kotaYogyakarta akan menimbukan masalah yang lebih kompleks lagi.