Letak Sarkem yang strategi yakni di Dekat Malioboro, notabene adalah ikon wisata budaya Jogja dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap citra Jogja sebagai kota budaya dan menimbulkan gesekan di dalam masyarakat Jogja sendiri.
SARKEM DAN BUDAYA JOGJA
Oleh : Rara Dinar dan Bertha
Floopynews(28/12)-Pasar Kembang atau orang sering menyebutnya Sarkem, terletak di Kampung Sosrowijayan. Orang Jogja pasti mengenal kawasan ini. Sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu.
Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. Sebelumnya, daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu.
Perubahan nama dari Balokan menjadi Sarkem, belum bisa dipastikan kapan. Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang. RW Sosrowijayan Kulon ini terdiri dari 4 RT yaitu RT 14, 15, 16 dan 17 dengan luas wilayah 112.500m2.
Pada tahun 2003 dihuni oleh 63 KK, terdiri dari 223 jiwa laki-laki dan 216 perempuan. Jumlah ini di luar jumlah Pekerja Seks yang tinggal dan kerja di wilayah ini. Jumlah Pekerja Seks yang kerja di Sarkem pada tahun 2008 mencapai kurang lebih 300-400 jiwa, yang terbagi dalam dua kategori, Pekerja Seks yang bekerja dan tinggal di wilayah Sarkem dan Pekerja Seks yang tinggal di luar Sarkem tapi ‘mencari uang’ di Pasar Kembang. Dengan jumlah, jika siang hari kurang lebih tiga ratus orang dan sore hingga dini hari kurang lebih 400 orang Pekerja Seks (data statistic yang rinci dan pasti sulit untuk didapat karena mobilitas Pekerja Seks yang tergolong tinggi
Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Sarkem yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Menurut pengakuan salah satu PSK disana, Lena (bukan nama sebenarnya, 37 tahun), tarif yang biasa dipatok di sarkem rata-rata berkisar dari 50-300 ribu rupiah tergantung dari usia PSK. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Salah satu PSK disana, Lena mengatakan,” Kita disini nyewa, sebulannya 320 ribu udah isi 4 kjamar plus kamar mandi dalam.Tapi ya begini ini, seadanya. Penduduk sini juga baik-baik. Kita Cuma tinggal bayar uang keamanan 100 ribu perbulan. Kalo ada tamu yang gag mau bayar, bakal dikerjain sama mereka. Kami udah betah dan gag mau kalo sarkem direlokasi”.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa PSK di sarkem sudah diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Mereka saling bersimbiosis mutualisme, saling menguntukan satu sama lain. Bagi wisatawan mancanegara sendiri, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.
Nama Sarkem kembali menjadi wacana menarik belakangan ini ketika banyak orang mengusulkan agar dijadikan kawasan wisata andalan bagi Prpvinsi DIY. Termasuk kemungkinan sebagai wisata seks. Pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), “Sarkem cukup prospektif dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di DIY termasuk kemungkinan sebagai kawasan wisata seks, kita gak usah munafiklah. Kalau ada “tamu” di hotel kita biasanya khan mereka mau diantar ke Sarkem. Di negara lain Malaysia dan Singapura misalnya, khan juga ada sentra wisata seks. Selain ada pendapatan untuk daerah khan penyebaran HIV/AIDS bisa dikurangi karena lebih terpusat di satu tempat saja” (www.wawasandigital.com, 07 Desember 2007).
Tentu saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jogjakarta. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai turut angkat bicara. Secara tegas orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu menolak wacana tersebut. Sultan menginginkan Jogjakarta maju dan terkenal karena budaya dan keramahannya, bukan karena sisi gelapnya. Janganlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.
Pengembangan Sarkem menjadi kawasan wisata wisata seks dipusat kota Jogja akan menyakitkan dan bertentangan dengan ruh Keistimewaan DIY. Masyarakat Yogya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, kesopanan, kesusilaan dan agama.
“Masyarakat DIY hendaknya senantiasa tidak melupakan ruh Keistimewaan DIY, dengan garis imaginer Kraton-Panggung Krapyak yang mempunyai makna Hablu Minannas yaitu simbol hubungan Kraton dengan rakyat, serta garis imaginer Kraton-Merapi sebagai Hablu minallah yaitu simbol hubungan Kraton dan Rakyat Yogya dengan Allah SWT. Semua itu tercermin dengan kedudukan Sri Sultan HB yang memiliki gelar Abdurahman Sayyidin Panotogomo Kalifatullah, dimana Sultan adalah sebagai pemimpin agama dan wakil Tuhan di muka bumi, sehingga Kraton menjadi pusat religius, pemerintahan dan budaya” (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)
Ditambahkan pula oleh Bakdi Sumanto, budayawan Jogja yang berprofesi sebagai pengajar di UGM, “Keberadaan sarkem di jantung kota jogja yang berdekatan dengan wisata budaya seperti Malioboro dan tamansari sangat mengganggu dan sebaiknya direlokasi. Pemerintah kita kan punya dewan kebudayaan, alangkah baiknya jika berinisiatif mengadakan diskusi, seminar mengenai masalah ini lalu disiarkan di TV-TV local seperti Jogja TV, dsb. Supaya seluruh elemen masayrakat dapat berkonsolidasi menyelesaikan masalah sarkem ini”, ujarnya.
Terlepas dari pro dan kontra tentang sarkem, ada baiknya kita menilik pada kearifan local kota Jogja. Jangan karena ingin mendongkrak sektor wisata seperti Negara-negara asia lainnya seperti Thailand misalnya lalu Jogja sebagai kota religi dan budaya menghalalkan segala cara. Semoga saja pemerintah mempunyai solusi yang terbaik untuk masalah ini.
Oleh : Rara Dinar dan Bertha
Floopynews(28/12)-Pasar Kembang atau orang sering menyebutnya Sarkem, terletak di Kampung Sosrowijayan. Orang Jogja pasti mengenal kawasan ini. Sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu.
Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. Sebelumnya, daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu.
Perubahan nama dari Balokan menjadi Sarkem, belum bisa dipastikan kapan. Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang. RW Sosrowijayan Kulon ini terdiri dari 4 RT yaitu RT 14, 15, 16 dan 17 dengan luas wilayah 112.500m2.
Pada tahun 2003 dihuni oleh 63 KK, terdiri dari 223 jiwa laki-laki dan 216 perempuan. Jumlah ini di luar jumlah Pekerja Seks yang tinggal dan kerja di wilayah ini. Jumlah Pekerja Seks yang kerja di Sarkem pada tahun 2008 mencapai kurang lebih 300-400 jiwa, yang terbagi dalam dua kategori, Pekerja Seks yang bekerja dan tinggal di wilayah Sarkem dan Pekerja Seks yang tinggal di luar Sarkem tapi ‘mencari uang’ di Pasar Kembang. Dengan jumlah, jika siang hari kurang lebih tiga ratus orang dan sore hingga dini hari kurang lebih 400 orang Pekerja Seks (data statistic yang rinci dan pasti sulit untuk didapat karena mobilitas Pekerja Seks yang tergolong tinggi
Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Sarkem yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Menurut pengakuan salah satu PSK disana, Lena (bukan nama sebenarnya, 37 tahun), tarif yang biasa dipatok di sarkem rata-rata berkisar dari 50-300 ribu rupiah tergantung dari usia PSK. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Salah satu PSK disana, Lena mengatakan,” Kita disini nyewa, sebulannya 320 ribu udah isi 4 kjamar plus kamar mandi dalam.Tapi ya begini ini, seadanya. Penduduk sini juga baik-baik. Kita Cuma tinggal bayar uang keamanan 100 ribu perbulan. Kalo ada tamu yang gag mau bayar, bakal dikerjain sama mereka. Kami udah betah dan gag mau kalo sarkem direlokasi”.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa PSK di sarkem sudah diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Mereka saling bersimbiosis mutualisme, saling menguntukan satu sama lain. Bagi wisatawan mancanegara sendiri, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.
Nama Sarkem kembali menjadi wacana menarik belakangan ini ketika banyak orang mengusulkan agar dijadikan kawasan wisata andalan bagi Prpvinsi DIY. Termasuk kemungkinan sebagai wisata seks. Pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), “Sarkem cukup prospektif dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di DIY termasuk kemungkinan sebagai kawasan wisata seks, kita gak usah munafiklah. Kalau ada “tamu” di hotel kita biasanya khan mereka mau diantar ke Sarkem. Di negara lain Malaysia dan Singapura misalnya, khan juga ada sentra wisata seks. Selain ada pendapatan untuk daerah khan penyebaran HIV/AIDS bisa dikurangi karena lebih terpusat di satu tempat saja” (www.wawasandigital.com, 07 Desember 2007).
Tentu saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jogjakarta. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai turut angkat bicara. Secara tegas orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu menolak wacana tersebut. Sultan menginginkan Jogjakarta maju dan terkenal karena budaya dan keramahannya, bukan karena sisi gelapnya. Janganlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.
Pengembangan Sarkem menjadi kawasan wisata wisata seks dipusat kota Jogja akan menyakitkan dan bertentangan dengan ruh Keistimewaan DIY. Masyarakat Yogya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, kesopanan, kesusilaan dan agama.
“Masyarakat DIY hendaknya senantiasa tidak melupakan ruh Keistimewaan DIY, dengan garis imaginer Kraton-Panggung Krapyak yang mempunyai makna Hablu Minannas yaitu simbol hubungan Kraton dengan rakyat, serta garis imaginer Kraton-Merapi sebagai Hablu minallah yaitu simbol hubungan Kraton dan Rakyat Yogya dengan Allah SWT. Semua itu tercermin dengan kedudukan Sri Sultan HB yang memiliki gelar Abdurahman Sayyidin Panotogomo Kalifatullah, dimana Sultan adalah sebagai pemimpin agama dan wakil Tuhan di muka bumi, sehingga Kraton menjadi pusat religius, pemerintahan dan budaya” (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)
Ditambahkan pula oleh Bakdi Sumanto, budayawan Jogja yang berprofesi sebagai pengajar di UGM, “Keberadaan sarkem di jantung kota jogja yang berdekatan dengan wisata budaya seperti Malioboro dan tamansari sangat mengganggu dan sebaiknya direlokasi. Pemerintah kita kan punya dewan kebudayaan, alangkah baiknya jika berinisiatif mengadakan diskusi, seminar mengenai masalah ini lalu disiarkan di TV-TV local seperti Jogja TV, dsb. Supaya seluruh elemen masayrakat dapat berkonsolidasi menyelesaikan masalah sarkem ini”, ujarnya.
Terlepas dari pro dan kontra tentang sarkem, ada baiknya kita menilik pada kearifan local kota Jogja. Jangan karena ingin mendongkrak sektor wisata seperti Negara-negara asia lainnya seperti Thailand misalnya lalu Jogja sebagai kota religi dan budaya menghalalkan segala cara. Semoga saja pemerintah mempunyai solusi yang terbaik untuk masalah ini.
Kalau kampung sosro dipuran itu sbelah mana brow.? Sarkem Olah raga malam ya brow? Wah semua orang pasti suka itu.. Kususnya kaum Adam.
BalasHapus