Senin, 11 Januari 2010

FENOMENA ANDONG DI KOTA GUDEG


Andong merupakan salah satu alat transportasi tradisional di Yogyakarta dan sekitarnya yang masih eksis dari dulu sampai sekarang. Keberadaan andong sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang kini masih terus dilestarikan. Walaupun sudah banyak kendaraan bermotor yang lebih cepat dan murah, tetapi pengguna Andong di Yogyakarta ini masih cukup banyak. Andong masih mampu hadir untuk memberi sentuhan tersendiri sebagai salah satu kekhasan kota Yogyakarta. Di antara hiruk pikuk dan pesatnya perkembangan kota, ternyata andong pun masih relatif mudah untuk ditemukan. Walaupun, jika dilihat sepintas, tidak banyak andong yang terlihat. Tapi, dimana dulu kita melihat dan mencarinya.


Dari yang Floppynews amati, andong saat ini hanya mengambil rute-rute tertentu. Kebanyakan melalui rute yang berpotensi mendapatkan banyak penumpang. Sebut saja dari arah daerah Kotagede menuju Pasar Beringharjo (daerah Malioboro) dan sebaliknya. Penumpangnya juga sudah semakin spesifik. Ibu-ibu penjual sayur dan barang jualan di pasar cenderung banyak memilih andong sebagai alternatif transportasi. Mungkin salah satu pertimbangan antara lain karena andong ‘lebih bisa muat banyak’? Atau, apakah karena bagi mereka, bus dirasa kurang nyaman? Bisa jadi. Lalu, di manakah kita bisa menemukan andong dengan mudah? Bagaimana persebaran lokasi parkir andong di Yogyakarta? Beberapa tempat dari pengamatan Floppynews:

1. Kawasan Malioboro — Ya, dikawasan ini andong cukup mudah ditemui. Andong banyak dijumpai di lajur kanan jalan Malioboro. Jalur ini dikhususkan untuk kendaraan tidak bermotor. Banyak andong yang mangkal ditempat tersebut. Di sini, wisatawan mungkin merupakan salah satu potensi pengguna jasa andong.

2. Parkir pasar Beringharjo — Lokasinya di sebelah sisi timur dan selatan bangunan utama pasar. Di sini, para mbok-mbok pasar banyak menggunakan jasa. Selain itu, masyarakat yang berbelanja di pasar juga Floppynews lihat banyak memanfaatkan jasa andong ini.

3. Sisi barat alun-alun utara — Tepatnya di sebelah barat pintu masuk Kraton Yogyakarta. Di sini ada tempat parkir andong.

4. Sisi timur Pasar Ngasem — Dari arah pasar Ngasem, berada di sisi timur. Beberapa andong dan becak sering ditemukan parkir di tempat ini.

5. Sekitar Pasar Kotagede

Selain di titik-titik tersebut, jika Anda beruntung Anda bisa juga menemukan andong yang mangkal di pinggir jalan, misalnya di Pojok Beteng Wetan (Timur).

Pak Martoyo, kusir andong yang mangkal di timur Pasar Ngasem berharap agar andong terus dijaga keberadaannya. "Ya..Saya cuma pengen Andong ini tetap ada di Jogja sampai kapan pun, soalnya selain untuk menafkahi keluarga saya, andong kan juga merupakan salah satu simbol kota Jogja." Kata lelaki 64 tahun itu sambil tertawa.



Dimas, salah seorang wisatawan asal Jakarta yang baru saja naik andong menceritakan pengalamannya naik alat transportasi tersebut. "Tadi saya dan seorang kawan memutuskan mencoba andong. Setelah memarkir sepeda motor tak jauh dari pusat perbelanjaan terbesar di Malioboro, kami mendekati sebuah andong. Andong memang mudah dicari di kawasan ini. Hukum ekonomi berjalan, tawar-menawar pun usai. Bagi kami para wisatawan, tarif Rp 25.000 itu cukup mahal karena hanya melintasi Jalan Malioboro-Keraton- Kampung Kauman-Pathuk-dan Pasar Kembang.
Saat kusir yang mengenakan surjan biru dan belangkon hitam itu mulai mendecakkan lidah, kemudian tangannya menghela tali kekang kuda, dimulailah perjalanannya. Sepatu kuda bersuara "plok-plok-plok..." karena beradu dengan aspal, bisa mengalahkan bisingnya deru mesin kendaraan bermotor. Sesekali terdengar bunyi "kleng-klong..." dari sebuah bel berbahan kuningan".

Perjalanan naik andong diiringi dengan kegiatan "cuci mata". Kereta yang berjalan lambat memudahkan Dimas dan kawannya untuk mengamati bangunan lama peninggalan Belanda seperti Istana Presiden, Benteng Vredeburg, dan Kantor Pos Besar yang dulunya merupakan gedung administrasi pemerintahan Belanda. Melewati perempatan Kantor Pos Besar terlihat lagi bangunan Keraton dan Alun-alun. Perjalanan ke sana seakan melewati lorong untuk menuju istana. Dari Alun-alun, andong berbelok ke kanan menuju kawasan perkulakan pakaian di Kampung Kauman dan bakpia di Pathuk.

Persepsi mata semacam ini sulit didapat saat membonceng atau mengendarai "kereta bermesin" karena lalu lintas memaksa kita untuk berpacu kalau tidak ingin dicaci maki pengguna jalan lainnya. Perjalanan menggunakan andong ini juga mengajarkan falsafah Jawa "alon-alon waton kelakon", kesabaran untuk mencapai tujuan. Rute yang biasanya bisa ditempuh 15 menit dengan sepeda motor akhirnya menghabiskan waktu hingga 45 menit.

Naik andong bagaikan raja Keraton Yogyakarta dulu yang menggunakan kereta kuda mengelilingi wilayahnya. Hingga masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, andong memang menjadi sarana transportasi khusus warga keraton. Tidak seorang pun berani meniru membuat kereta, apalagi menggunakannya.


Kehidupan Sang Kusir Andong (Pendukung)

Gito Suryo Pranoto atau yang biasa disapa Pak Gito sudah menghabiskan 44 tahun hidupnya sebagai seorang kusir andong untuk menghidupi keluarganya. Dari jam sembilan pagi hingga jam empat sore, pria beranak dua itu menanti calon penumpang yang semakin sedikit jumlahnya dari tahun ke tahun. Menurutnya hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di kota Yogyakarta ini, tidak seperti dahulu waktu kendaraan bermotor masih ibarat barang mewah, andong Pak Gito masih banyak diminati masyarakat. Oleh karena itu Pak Gito sekarang hanya mangkal di kawasan Malioboro. Padahal dahulu pria yang setia memakai blangkon ini juga sempat mangkal di terminal Umbulharjo ataupun stasiun Lempuyangan. "Sekarang jaman sudah maju, banyak kendaraan bermotor di mana-mana, jadi saya lebih milih di sini terus saja", ujarnya sambil menghisap rokok,

Menurutnya banyak sekali tantangan menjadi kusir andong. Pagi-pagi sekali pria bertempat tinggal di Kota Bantul ini harus bangun untuk menyiapkan segala sesuatunya. Mulai dari memberi makan sampai memandikan kuda. Perjalanan dari rumah Pak Gito sampai Malioboro membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sesampai di sana pria berumur 65 tahun kebanyakan hanya menghabiskan waktu untuk duduk di andongnya sambil menghisap rokok. Jarang sekali masyarakat yang mau naik andongnya. Rata-rata pria murah senyum ini hanya mendapat dua penumpang dalam sehari. Akibatnya penghasilan Pak Gito sehari rata-rata hanya Rp. 40.000 rupiah. Namun untuk hari libur bisa mencapai Rp. 100.000 rupiah per hari. "Yaa..kalau hari biasa seperti ini saya cuma dapat 40 ribu sehari, tapi kalau hari libur seperti lebaran bisa sampai 100 ribu", kata bapak berkumis tipis ini sambil tertawa kecil.

Kesulitan menjadi kusir andong tidak sampai di situ. Sangat sulit dan mahal untuk merawat kuda. Dalam sehari Pak Gito harus merogoh kocek sebesar Rp. 20 ribu rupiah untuk membeli katul dan vitamin untuk kudanya. Hal ini harus dilakukannya sebab jika kudanya sampai sakit, suami seorang buruh cuci itu tidak bisa bekerja lagi karena hanya mempunyai seekor kuda. Terlebih lagi jika ada komponen andongnya yang rusak, Pak Gito juga harus mereparasikan andongnya di daerah Ngoto, Bantul. Tentunya juga butuh biaya yang tidak sedikit.

Di tengah kesulitan seperti tersebut di atas, Pak Gito masih beruntung. Pasalnya pria berbadan kurus itu mendapat uang Rp 2 juta setiap tahunnya dari sebuah perusahaan minimarket yang memasang iklan di andongnya. Selain itu Pak Gito kadang mendapat komisi dari sebuah toko bakpia terkemuka di kota ini jika mampu mengantar penumpang ke toko bakpia tersebut. Namun walaupun sudah mendapat itu semua, kakek dari tiga orang cucu ini masih mengharapkan perhatian dari pemerintah kota Yogyakarta yang dianggapnya kurang memperhatikan nasib kusir-kusir andong seperti Pak Gito yang telah melesarikan budaya tradisional Yogyakarta ini.

Kartiko Wulantomo (153070313)

1 komentar: