Seorang pria sedang mengobrol dengan Lena (nama disamarkan) di warung miras sarkem. Lena adalah salah satu PSK yang telah bekerja di sarkem selama sepuluh tahun. Bagaimana nasib lena dan kawan-kawannya, jika sarkem di relokasi???
Berikut ini penelusuran Floopnews untuk mengungkap sisi lain sarkem....
Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Sarkem yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Menurut pengakuan salah satu PSK disana, Lena (bukan nama sebenarnya, 37 tahun), tarif yang biasa dipatok di sarkem rata-rata berkisar dari 50-300 ribu rupiah tergantung dari usia PSK. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Sarkem sendiri terletak di Kampung Sosrowijayan. Orang Jogja pasti mengenal kawasan ini. Sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kotaJogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu.
Pasar Kembang atau sarkem sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. Sebelumnya, daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu.
Perubahan nama dari Balokan menjadi Sarkem, belum bisa dipastikan kapan. Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Hal ini terbukti dengan peraturan tentang pelarangan peraturan di DIY yang tercantum dalam Rijksblaad tahun 1924 dan Peraturan Daerah No. 15/1954. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang. RW Sosrowijayan Kulon ini terdiri dari 4 RT yaitu RT 14, 15, 16 dan 17 dengan luas wilayah 112.500m2.
Pada tahun 2003 sarkem dihuni oleh 63 KK, terdiri dari 223 jiwa laki-laki dan 216 perempuan. Jumlah ini di luar jumlah Pekerja Seks yang tinggal dan kerja di wilayah ini. Jumlah Pekerja Seks yang kerja di Sarkem pada tahun 2008 mencapai kurang lebih 300-400 jiwa, yang terbagi dalam dua kategori, Pekerja Seks yang bekerja dan tinggal di wilayah Sarkem dan Pekerja Seks yang tinggal di luar Sarkem tapi ‘mencari uang’ di Pasar Kembang. Dengan jumlah, jika siang hari kurang lebih tiga ratus orang dan sore hingga dini hari kurang lebih 400 orang Pekerja Seks (data statistic yang rinci dan pasti sulit untuk didapat karena mobilitas Pekerja Seks yang tergolong tinggi
Bagi wisatawan mancanegara sendiri, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.
Ketenangan Sarkem kembali terusik dengan adanya wacana menarik belakangan ini ketika banyak orang mengusulkan agar dijadikan kawasan wisata andalan bagi Prpvinsi DIY. Termasuk kemungkinan sebagai wisata seks. Pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), “Sarkem cukup prospektif dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di DIY termasuk kemungkinan sebagai kawasan wisata seks, kita gak usah munafiklah. Kalau ada “tamu” di hotel kita biasanya khan mereka mau diantar ke Sarkem. Di negara lain Malaysia dan Singapura misalnya, khan juga ada sentra wisata seks. Selain ada pendapatan untuk daerah khan penyebaran HIV/AIDS bisa dikurangi karena lebih terpusat di satu tempat saja” (www.wawasandigital.com, 07 Desember 2007).
Tentu saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jogjakarta. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai turut angkat bicara. Secara tegas orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu menolak wacana tersebut. Sultan menginginkan Jogjakarta maju dan terkenal karena budaya dan keramahannya, bukan karena sisi gelapnya. Janganlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.
Pengembangan Sarkem menjadi kawasan wisata wisata seks dipusat kota Jogja akan menyakitkan dan bertentangan dengan ruh Keistimewaan DIY. Masyarakat Yogya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, kesopanan, kesusilaan dan agama.
“Masyarakat DIY hendaknya senantiasa tidak melupakan ruh Keistimewaan DIY, dengan garis imaginer Kraton-Panggung Krapyak yang mempunyai makna Hablu Minannas yaitu simbol hubungan Kraton dengan rakyat, serta garis imaginer Kraton-Merapi sebagai Hablu minallah yaitu simbol hubungan Kraton dan Rakyat Yogya dengan Allah SWT. Semua itu tercermin dengan kedudukan Sri Sultan HB yang memiliki gelar Abdurahman Sayyidin Panotogomo Kalifatullah, dimana Sultan adalah sebagai pemimpin agama dan wakil Tuhan di muka bumi, sehingga Kraton menjadi pusat religius, pemerintahan dan budaya” (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)
Setelah hingar bingar isu wisata lendir tersebut, muncul pula isu relokasi sarkem. Menanggapi hal itu Bakdi Sumanto, budayawan Jogja yang berprofesi sebagai pengajar di UGM berpendapat, “Keberadaan sarkem di jantung kota jogja yang berdekatan dengan wisata budaya seperti Malioboro dan tamansari sangat mengganggu dan sebaiknya direlokasi. Pemerintah kita kan punya dewan kebudayaan, alangkah baiknya jika berinisiatif mengadakan diskusi, seminar mengenai masalah ini lalu disiarkan di TV-TV local seperti Jogja TV, dsb. Supaya seluruh elemen masayrakat dapat berkonsolidasi menyelesaikan masalah sarkem ini”, ujarnya.
Hal itu turut pula ditegaskan oleh Kepala Bidang Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Drs. MC. Bisry Romly, Senin (14/12/2009) menyebutkan bahwa sementara ini, soal relokasi di wilayah sarkem juga belum jelas penanganannya. "Karena wilayah sarkem ini kan berada di bawah kelola Pemerintah Kota sedngkan dinas pariwisata hanya sebagai fasilitator untuk memberikan izin. Relokasi Sarkem harus ada penanganan terpadu, konsolidasi dari berbagai pihak terkait khusunya pemerintah kota, dinas pariwisata, dinas perizinan, dan pendapatan" sebutnya.
Bisry menambahkan, penanganan sarkem di KotaJogjakarta sebaiknya memang melibatkan kesadaran warga sekitar. Sarkem sebaiknya dipusatkan agar tidak bercampur dengan warga sekitar dan untuk mengurangi akses penyebaran HIV.
Dari sudut pandang agama, keberdaaan sarkem juga sangat diharamkan tapi kita tidak serta merta menyalahkan pekerja seks di sana. Ada banyak factor yang melatarbelakangi kenapa mereka memilih berprofesi sebagai PSK. Salah satunya adalah factor ekonomi dan biologis.
Salah satu ulama nyentrik di Kota Gudeg ini, Muhammad Hafidz berpendapat bahwa . Di jaman saijinah umar bin salam tidak ada korupsi. Mayarakatnya sudah kaya, sejahtera. Kalo umat udah sejahtera, masih ada saja yang mencuri, bisa dibilang hal itu bejat sekali. Kalau sekarang Indonesia mau menegakkan hukum islam itu sulit sekali, karena sistem sebenarnya sudah bagus namun tidak ada tindak lanjut sama sekali. Nah seperti sarkem, wacana relokasi sudah ada, tapi implementasinya belum ada. Hal itulah yang menjadi bukti penegakan hokum islam itu sulit sekali. Karena bukan apa-apa, tapi dengan adanya relokasi kita lebih memnusiakan manusia agar PSK lebih dihargai martabatnya.
Tetapi rencana relokasi sarkem tersebut mendapat tentangan dari PSK dan masyarakat sarkem sendiri karena jika rencana tersebut benar-benar terjadi maka masyarakat di sekitar sarkem akan kehilangan mata pencahariannya. Kebanyakan masayarakat di sana bermatapencaharian sebagai penjual miras, makanan, dan menyewakan losmen-losmen untuk PSK maupun para tamu yang berkunjung. Salah satu PSK disana, Lena mengatakan, ” Kita disini nyewa, sebulannya 320 ribu udah isi 4 kjamar plus kamar mandi dalam.Tapi ya begini ini, seadanya. Penduduk sini juga baik-baik. Kita Cuma tinggal bayar uang keamanan 100 ribu perbulan. Kalo ada tamu yang gag mau bayar, bakal dikerjain sama mereka. Kami udah betah dan gag mau kalo sarkem direlokasi”.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa PSK di sarkem sudah diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Mereka saling bersimbiosis mutualisme, saling menguntukan satu sama lain. Sehingga sulit bagi pemerintah untuk merelokasi sarkem tanpa adanya kerjasama dan komunikasi yang baik dengan penduduk sekitar maupun dengan para PSK nya.
Terlepas dari pro kontra di atas, terdapat potret buram pemerintah terhadap rencana relokasi sarkem dan wacana Jogja sebagai obyek wisata lendir. Dengan Kurangnya konsolidasi, penanganan yang cepat, dan kerjasama antar elemen-elemen dalam masyarakat bagaimana rencana relokasi ini dapat terwujud?? Bahkan apa jadinya jika wisata andalan Jogja beralih ke sector wisata lendir. Itu yang menjadi PR Pemerintah Kota Jogja saat ini dan masa yang akan datang.
“Ulama Nyentrik” Oleh : Bertha, Desti, dan Kartiko
Floopynews.com(15/12)- Telah berulang kali Muhammad Hafidz (30), seorang ulama nyentrik di masjid Al-Hikmah, Cantel, Jogjakarta) mendatangi pasar kembang atau lebih dikenal dengan sarkem. Eitts…jangan berpikir yang negatif dulu, karena kedatangannya ke sarkem bukan untuk menikmati kemolekan para WTS melainkan untuk curhat dari hati ke hati dengan para WTS. Memang aneh sekali kebiasaan ulama yang satu ini, dengan berganti kostum kebesaran yaitu dari celana congklang (celana di atas mata kaki) dan peci menjadi kemeja dan celana jeans layaknya laki-laki parlente dia mendatangi pusat prostitusi di Jogja tersebut. Untuk apa ulama nyentrik ini nekat curhat dengan WTS? Jawabannya hanya ada satu kata “menyamakan persepsi untuk kehidupan lebih baik dan mencari inspirasi untuk berdakwah” , begitu ucapnya di sela-sela wawancara dengan Floopynews.
Ulama paruh baya asal Surabaya, Jawa timur ini telah 6 tahun lamanya membina masjid Al-Hikmah. Muhammad Hafidz atau yang akrab disapa Hafidz sudah akrab dengan lingkungan prostitusi karena kebetulan sejak kecil tinggal di daerah yang tidak jauh dengan kawasan “Dolly” di Surabaya. Dia tahu bahwa bekerja sebagai WTS ternyata bukan merupakan suatu perkara mudah. Hafidz mengatakan, “Mereka (WTS) disana, memilih profesi ini bukan karena jalan hidup melainkan karena terpaksa. Ada banyak factor yang melatarbelakanginya, salah satunya ialah factor ekonomis dan biologis. Tetapi pada dasarnya, mereka masih mempunyai nurani, untuk itu jangan kita jauhi mereka, sebaiknya kita rangkul untuk bertobat”.
Untuk mengetahui lebih dalam kedekatan ulama nyentrik ini dengan dunia esek-esek, secara khusus Floopynews mewawancarai Hafidz di tengah kesibukannya membina mesjid Al-Hikmah, berikut petikan wawancara Floopynews:
Anda tampaknya dekat dengan dunia sarkem? Haha….memang benar. Saya sering “iseng “ ke sarkem. Maaf kata bukan untuk “itu” tapi saya iseng menanyai PSK Di sana. Saya bayar sesuai tarif dan bercengkerama di kamar yang sempit dan pengap. Sepengap beban yang menhimpit hidup mereka.
Apa saja yang anda tanyakan jika curhat dengan WTS? Semua saya tanyakan, saya melihat dari berbagai perspektif. PSK jangan kita anggap kotor. Mereka sebenarnya mempunyai factor mendasar yang melatarbelakangi kenapa akhirnya mereka memilih jalan ini. Bahkan kebanyakan dari mereka terpaksa menjalaninya.
Apakah WTS di sarkem terlalu diforsir kerjanya? Ya…sangat tidak humanis, belum ada pengelolaan atau managemen yang memadai.
Apakah mereka yang bekerja di sana belum mendapat jalan terang? Banyak orang menganggap mereka kotor. Tapi yang perlu dicatat adalah “kotor=kebersihan yang tidak terpelihara”. Untuk menemukan frustasi kebenaran harus dengan jalan tauhid=jalan sirik. Intinya, bukan berarti mereka 100%salah, ini kesalahan kita bersama dan harus dibenahi bersama. Banyak di antara mereka setelah mendengar saya berdakwah lalu bertobat. Alaupun itu semua butuh proses, ada yang mengawalinya dengan sholat namun ada juga yang ekstrem dengan meninggalkan profesinya sebagai WTS.
Lalu bagaimana tanggapan Anda mengenai rencana relokasi sarkem? Nurani saya terhentak sebagai orang beragama tetapi di satu sisi saya tetap berajalan di penegakan hukum islam. Di jaman saijinah umar bin salam tidak ada korupsi. Mayarakatnya sudah kaya, sejahtera. Kalo umat udah sejahtera, masih ada saja yang mencuri, bisa dibilang hal itu bejat sekali. Kalau sekarang Indonesia mau menegakkan hukum islam itu sulit sekali, karena sistem sebenarnya sudah bagus namun tidak ada tindak lanjut sama sekali. Nah seperti sarkem, wacana relokasi sudah ada, tapi implementasinya belum ada.
Intinya? Saya tidak berwenang untuk membrikan jawaban atas pertanyaan ini. Tapi menurut pendapat saya pribadi…jika sarkem direlokasi maka akan lebih humanis, mereka akan lebih ada martabatnya di mata masyarakat.Pada dasarnya ini lebih kepada pilihan hidup mereka.
Pandangan Anda secara ideologis terhadap wacana relokasi ini? Kalau dipandang secara ideologis sebenarnya agama tidak bisa memberikan solusi. Agama hanya bisa memberi tahu mana yang haram dan mana yang halal. Flashback ke citra jogja tempoe doeleoe, tahun 2004 saya menemukan banyak wisata lendir seperti di Jogja, Surabaya , Bandungan. Jogja tempo dulu sebagai mazhab pengetahuan, budaya sekarang diwarnai dengan jogja sebagai kota sex.
Apakah wacana relokasi sarkem ini ada dampaknya? Tentu saja ada…lha wong kalo sarkem direlokasi hal ini jutru membuat martabat PSK jauh lebih baik. Kalo pait-paitnya digusur…ya malah repot. Virus bisa menyebar. Bisa-bisa kantin UIN jad sarang prostitusi hehe. Jadi lebih baik tetap terfokus pada satu tempat tapi direlokasi saja. Ke gamping atau kemana yang penting jangan di pusat kota seperti ini.
Ulama memang tidak harus jijik dengan tempat-tempat seperti sarkem dan sejenisnya, justru dari tempat syirik macam ini mereka dapat merangkul orang-orang yang masih dalam kuasa gelap untuk kembali di jalan-Nya. Semoga saja ulama-ulama nyentrik (dalam pengertian positif tapi) makin berkembang di Indonesia. Sehingga citra Islam yang sekarang mulai goyah karena identik dengan kekerasan akibat isu teroris bom bali dapat terhapuskan dengan orang-orang yang penuh cinta kasih merangkul sesamanya menuju jalan tobat seperti yang telah dilakukan Muhammad Hafidz.
Letak Sarkem yang strategi yakni di Dekat Malioboro, notabene adalah ikon wisata budaya Jogja dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap citra Jogja sebagai kota budaya dan menimbulkan gesekan di dalam masyarakat Jogja sendiri.
SARKEM DAN BUDAYA JOGJA Oleh : Rara Dinar dan Bertha
Floopynews(28/12)-Pasar Kembang atau orang sering menyebutnya Sarkem, terletak di Kampung Sosrowijayan. Orang Jogja pasti mengenal kawasan ini. Sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara Jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu.
Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. Sebelumnya, daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu.
Perubahan nama dari Balokan menjadi Sarkem, belum bisa dipastikan kapan. Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang. RW Sosrowijayan Kulon ini terdiri dari 4 RT yaitu RT 14, 15, 16 dan 17 dengan luas wilayah 112.500m2.
Pada tahun 2003 dihuni oleh 63 KK, terdiri dari 223 jiwa laki-laki dan 216 perempuan. Jumlah ini di luar jumlah Pekerja Seks yang tinggal dan kerja di wilayah ini. Jumlah Pekerja Seks yang kerja di Sarkem pada tahun 2008 mencapai kurang lebih 300-400 jiwa, yang terbagi dalam dua kategori, Pekerja Seks yang bekerja dan tinggal di wilayah Sarkem dan Pekerja Seks yang tinggal di luar Sarkem tapi ‘mencari uang’ di Pasar Kembang. Dengan jumlah, jika siang hari kurang lebih tiga ratus orang dan sore hingga dini hari kurang lebih 400 orang Pekerja Seks (data statistic yang rinci dan pasti sulit untuk didapat karena mobilitas Pekerja Seks yang tergolong tinggi
Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Sarkem yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Menurut pengakuan salah satu PSK disana, Lena (bukan nama sebenarnya, 37 tahun), tarif yang biasa dipatok di sarkem rata-rata berkisar dari 50-300 ribu rupiah tergantung dari usia PSK. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.
Salah satu PSK disana, Lena mengatakan,” Kita disini nyewa, sebulannya 320 ribu udah isi 4 kjamar plus kamar mandi dalam.Tapi ya begini ini, seadanya. Penduduk sini juga baik-baik. Kita Cuma tinggal bayar uang keamanan 100 ribu perbulan. Kalo ada tamu yang gag mau bayar, bakal dikerjain sama mereka. Kami udah betah dan gag mau kalo sarkem direlokasi”.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa PSK di sarkem sudah diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Mereka saling bersimbiosis mutualisme, saling menguntukan satu sama lain. Bagi wisatawan mancanegara sendiri, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda, tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.
Nama Sarkem kembali menjadi wacana menarik belakangan ini ketika banyak orang mengusulkan agar dijadikan kawasan wisata andalan bagi Prpvinsi DIY. Termasuk kemungkinan sebagai wisata seks. Pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), “Sarkem cukup prospektif dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di DIY termasuk kemungkinan sebagai kawasan wisata seks, kita gak usah munafiklah. Kalau ada “tamu” di hotel kita biasanya khan mereka mau diantar ke Sarkem. Di negara lain Malaysia dan Singapura misalnya, khan juga ada sentra wisata seks. Selain ada pendapatan untuk daerah khan penyebaran HIV/AIDS bisa dikurangi karena lebih terpusat di satu tempat saja” (www.wawasandigital.com, 07 Desember 2007).
Tentu saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jogjakarta. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai turut angkat bicara. Secara tegas orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu menolak wacana tersebut. Sultan menginginkan Jogjakarta maju dan terkenal karena budaya dan keramahannya, bukan karena sisi gelapnya. Janganlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.
Pengembangan Sarkem menjadi kawasan wisata wisata seks dipusat kota Jogja akan menyakitkan dan bertentangan dengan ruh Keistimewaan DIY. Masyarakat Yogya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, kesopanan, kesusilaan dan agama.
“Masyarakat DIY hendaknya senantiasa tidak melupakan ruh Keistimewaan DIY, dengan garis imaginer Kraton-Panggung Krapyak yang mempunyai makna Hablu Minannas yaitu simbol hubungan Kraton dengan rakyat, serta garis imaginer Kraton-Merapi sebagai Hablu minallah yaitu simbol hubungan Kraton dan Rakyat Yogya dengan Allah SWT. Semua itu tercermin dengan kedudukan Sri Sultan HB yang memiliki gelar Abdurahman Sayyidin Panotogomo Kalifatullah, dimana Sultan adalah sebagai pemimpin agama dan wakil Tuhan di muka bumi, sehingga Kraton menjadi pusat religius, pemerintahan dan budaya” (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)
Ditambahkan pula oleh Bakdi Sumanto, budayawan Jogja yang berprofesi sebagai pengajar di UGM, “Keberadaan sarkem di jantung kota jogja yang berdekatan dengan wisata budaya seperti Malioboro dan tamansari sangat mengganggu dan sebaiknya direlokasi. Pemerintah kita kan punya dewan kebudayaan, alangkah baiknya jika berinisiatif mengadakan diskusi, seminar mengenai masalah ini lalu disiarkan di TV-TV local seperti Jogja TV, dsb. Supaya seluruh elemen masayrakat dapat berkonsolidasi menyelesaikan masalah sarkem ini”, ujarnya.
Terlepas dari pro dan kontra tentang sarkem, ada baiknya kita menilik pada kearifan local kota Jogja. Jangan karena ingin mendongkrak sektor wisata seperti Negara-negara asia lainnya seperti Thailand misalnya lalu Jogja sebagai kota religi dan budaya menghalalkan segala cara. Semoga saja pemerintah mempunyai solusi yang terbaik untuk masalah ini.
Jogja(28/12), Floopynes.com- Bukti bahwa sarkem merupakan kawasan prostitusi tertua di Jogjakarta didukung oleh peraturan larangan pelacuran di DIY. Berikut ini mengenai peraturan larangan pelacuran di DIY, yang dapat menjadi salah satu bukti bahwa praktek prostitusi di Wilayah Pasar Kembang sudah berlangsung sejak lama.
Produk PERDA dibawah ini dikeluarkan oleh pemerintah Belanda dan DIY, sebagai Berikut: Rijksblaad tahun 1924, nomor 19. Artikel 1 dan 2 menyebutkan larangan rumah-rumah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan pelacuran. Ini berarti jauh sebelum peraturan tersebut dikeluarkan sudah ada kegiatan pelacuran di Sarkem Peraturan Daerah No. 15/1954, yang dikeluarkan pada tanggal 2 November 1954.
PERDA ini mengenai penutupan rumah-rumah pelacuran. Pasal 1, yang dimaksud dengan rumah-rumah pelacuran ialah rumah atau bangunan lainnya, termasuk pekarangan yang digunakan untuk pelacuran. Pelacuran ialah tindakan orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina dengan mendapatkan upah. Pasal 2 alinea 3 berbunyi penutupan tersebut (ayat 1) berlaku bagi seluruh/sebagian rumah atau pekarangan tersebut. Pasal 3 berbunyi bahwa siapa pun dilarang mendatangi rumah atau pekarangan itu kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 5 dalam peraturan ini. Pasal 7, Larangan tersebut dapat dicabut apabila dalam tiga bulan kemudian rumah itu tidak dipergunakan untuk pelacuran, penutupan rumah tersebut diperpanjang lagi apabila masih dipergunakan untuk pelacuran. Pasal 8 berbunyi pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal 3 dan 4 dapat dikenakan kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya, Rp. 100,- (seratus rupiah).
Peraturan Daerah No. 18/1954 yang dikeluarkan pada tanggal 4 November 1954, tentang larangan pelacuran di tempat-tempat umum. Pasal 1 mengenai batasan mengenai pelacuran, yaitu tindakan orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina dengan mendapatkan upah. Pasal 2 berisi tentang maksud tempat umum yaitu jalan-jalan, tanah-tanah lapang, ruangan-ruangan dan lain sebagainya yang oleh umum mudah dilihat atau didatangi. Pasal 3 berisi, tentang larangan bagi siapa saja yang ada di tempat umum membujuk orang lain baik dengan perkataan, perbuatan, isyarat dan cara lain yang bermaksud untuk melakukan perbuatan mesum. Pasal 5 bagi siapa saja yang melanggar pasal 3 tersebut dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda setinggi-tingginya seratus rupiah.
Pemerintah daerah melihat bahwa meskipun telah ada larangan kegiatan pelacuran di rumah-rumah yaitu dengan dikeluarkannya Rijksblaad tahun 1924, nomor 19 dan peraturan daerah No. 15/1954, tetapi masih tetap ada rumah-rumah yang dipergunakan untuk kegiatan pelacuran oleh karena itu dikeluarkan keputusan kepala daerah No.166/K.D/1974, yang keluarkan pada tanggal 15 November 1974 tentang penunjukkan tempat untuk proyek resosialisasi Wanita Tuna Susila di kota Yogyakarta.
Keputusan tersebut antara lain menunjuk tanah pemerintah seluas 7200 meter persegi terletak di dusun Mrican, tepatnya sebelah barat Sungai Gadjah Uwong, sebagai tempat pelaksanaan Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila Yogyakarta. Kemudian untuk merealisaikan keputusan kepada daerah tersebut pada tanggal 20 November 1974 Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan NO 17/K.D/1974 tentang tim pelaksana Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila.
Pada salah satu keputusannya dicantumkan anggota tim pelaksana Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila tersebut antara lain terdiri dari Tripida kecamatan setempat dan Ketua Rukun kampung Wilayah Sarkem. Selanjutnya pada tanggal 2 Maret 1976, atas nama Walikota Pj. Sekwilda pada saat itu, mengeluarkan surat pemerintah No.02940/01040/Sek./1976 tentang perintah pelaksanaan pemindahan mucikari beserta anak buahnya selambat-lambatnya tanggal 2 Maret 1976, pukul 24.00WIB dan melaksanakan bimbingan dan pengawasan kampung lama yang ditinggalkan.
Setelah Resosialisasi Wanita Tuna Susila di Kota Yogyakarta terealisasi, pada tanggal 6 Maret 1976, Pjs Sekretaris Daerah mewakili Walikota Yogyakarta mengeluarkan instruksi Walikota Madya kepada daerah tingkat II No. 01/IN/1976 tentang mengintensifkan dan menertibkan pelaksanaan peraturan daerah No.18 tahun 1954. Dalam instruksi tersebut dikemukakan perlu adanya tindak lanjut tahap pemberantasan dan pembersihan pelacur di Wilayah Kota Yogyakarta, terkecuali tempat yang dimaksud dalam keputusan Walikota Yogyakarta No.166/KD/1974. selain itu, tim pelaksana dalam keputusan No.170/KD/1974 agar mengaktifkan dan menertibkan pelaksanaan peraturan daerah nomor 18 tahun 1954.
Pada tanggal 1 September 1977, Walikota Yogyakarta memandang perlu melengkapi surat keputusan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan resosialisasi di Desa Mrican, yaitu dengan mengeluarkan keputusan No. 93/K.D/1977 tentang jalur pemisahan antara areal Resosialiasi Wanita Tuna Susila dan perkampungan umum sekitarnya. Pemerintah melihat bahwa Wanita Tuna Susila, Gelandangan dan Pengemis yang selalu ada maka pada tanggal 24 agustus 1989 dikeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DIY No. 54/TIM/1989, tentang pembentukan tim penanggulangan Gelandangan, Pengemis dan Wanita Tuna Susila di Propinsi DIY. Masih terkait dengan hal diatas pada tanggal 23 Desember 1993, Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan No.1040/KD/1993 tentang pola penanggulangan gelandangan, pengemis dan pola penanggulangan Wanita Tuna Susila.
Pada keputusan ini Bab 3 (Tiga) merupakan pola penanggulangan Wanita Tuna Susila, didalamnya termasuk penanggulangan secara preventif, represif dan kuratif. Walaupun dalam pola penanggulangan Wanita Tuna Susila diatas tertera pula resosialisasi tetapi pada tanggal 31 Desember 1997, Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan No. 408/KD/1997 tentang Pencabutan Keputusan Walikota Yogyakarta No.166/KD/1974 tentang penunjukkan tempat untuk proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila.
Walaupun ada PERDA yang melarang Wilayah Sosrowijayan Kulon sebagai tempat praktek prostitusi yang diberlakukan sejak tanggal 2 Maret tahun 1976, tapi selama itu juga dan hingga saat ini tahun 2009, wilayah ini tetap digunakan untuk kegiatan prostitusi. Hal ini jelas, karena ada ikatan ekonomi yang kuat antara warga setempat dengan Pekerja Seks, dan juga dengan lingkungan Sosrowijayan Wetan yang menyediakan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata, karena daerah ini merupakan jantung Kota Yogyakarta dan dekat dengan lingkungan pariwisata andalan DIY yaitu Malioboro, Keraton, Taman sari, dll
Penulis : Kartiko dan Bertha (Referensi dari berbagai sumber)
Fllopynews ditengah wawancara dengan Kepala Bidang Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata, Drs. MC Bisry Romly.
Koordinasi Dinas Pariwisata dan Pemkot Menangani Relokasi Sarkem Belum Dilakukan
JOGJA (14/12), Floopynews.com - Koordinasi bersama antara dinas Pariwisata dan Pemerintah Kota yang mestinya dilakukan untuk mengatasi permasalahan relokasi sarkem belum dilakukan. Padahal, persoalan sarkem telah membawa citra negative bagi kota Jogja sebagai kota seni dan budaya .
Kepala Bidang Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Drs. MC. Bisry Romly, Senin (14/12) menyebutkan bahwa sementara ini, soal relokasi di wilayah sarkem juga belum jelas penanganannya. "Karena wilayah sarkem ini kan berada di bawah kelola Pemerintah Kota sedngkan dinas pariwisata hanya sebagai fasilitator untuk memberikan izin. Relokasi Sarkem harus ada penanganan terpadu dan konsolidasi dari berbagai pihak terkait khususnya pemerintah kota, dinas pariwisata, dinas perizinan, dan pendapatan" sebutnya.
Bisry menambahkan, penanganan sarkem di Kota Jogjakarta sebaiknya memang melibatkan kesadaran warga sekitar. Ia mengatakan, sarkem sebaiknya dipusatkan agar tidak bercampur dengan warga sekitar dan untuk mengurangi akses penyebaran HIV.